Ketika aku kecil, tak ada keinginan terberatku selain bisa membaca seperti kakak, mak dan ayah. Dengan membaca aku bisa mengembara ke mana pun kuingin. Dengan membaca aku bisa menyelami hati orang, sedang sedih, senang, atau sekadar ingin berbagi ilmu dan pengalaman hidup, atau entahlah, hanya orang yang bisa membaca dapat memahaminya.
Dengan membaca kau bisa menggenggam dunia. Begitu ayah sering berkata kepada kami, anak-anaknya. Meski aku tak faham perkataan ayah tentang "menggenggam dunia, Â karena itu tak mungkin, tetap saja aku bercita-cita kelak bisa membaca.
Mungkin bagi sebagian orang, bisa membaca hanya hal sepele. Tapi entah kenapa aku selalu takjub melihat huruf-huruf saling berkejaran, tapi ada yang bisa menangkapnya, lalu membacakannya untukku.Â
***
Pagi turun diam-diam di halaman. Saat itu aku pasti sedang menunggu bunyi gesekan kertas beradu lantai dari balik pintu ruang tamu. Selalu begitu di hari Minggu. Berkali-kali melihat ke kolong pintu, seringkali harapan kosong.
"Belum datang, ya! Lambat sekali!" Aku semakin sering berkeluh kesah. Kakak mendesah, dan kembali menonton televisi.
Manakala suara gesekan itu tiba-tiba terdengar nyata, kami terdiam menahan napas. Pelan-pelan melihat kertas muncul mengirimkan bait-bait kata di kolong pintu. Â Membiarkan suara lain; geleser roda sepeda membuyarkan batu koral. Hilang. Senyap. Dua bocah kecil ini pun berebut harta karun itu.
"Awas koyak!" tegur Mak mengingatkan.
Meskipun aku yang berhasil pertama kali mendekap harta karun itu, tetap saja kakak akhirnya---meskipun berlagak sombong---harus kudekati. Merayu sambil menggelendot di bahunya. Apa pun alasannya, hanya kakak yang berhasil membuka harta karun itu.
Terkadang kupikir, dengan diam-diam memakai kaca mata ayah, aku bisa membaca. Tapi Mak selalu mencegah, karena takut kepalaku pusing. Kaca mata bukan untuk anak kecil! Berarti anak kecil tak boleh membaca. Kakak masih kecil, tapi dia boleh berkacamata. Dan dia bisa membaca.
"Nanti setelah adek sekolah, pasti bisa membaca." Mak menenangkan. Aku pasrah mendengar kakak mulai membaca.Â
Kau mungkin tahu kertas apa itu. Ya, benar. Koran. Koran yang terbit di hari Minggu. Koran istana cerita, kataku.
Tapi ketika aku sudah lancar membaca, seolah ingin membalas kakak. Tiap Minggu,  aku yang melahap koran. Kakak tinggal leceknya. Dan sepertinya bahan bacaanku selalu kurang. Koran lama dibabat habis. Majalah remaja tak jarang kena libas. Mak sering kehilangan majalah wanita. Ujung-ujungnya dia akan berhasil menemukan majalah itu  di kamarku dengan seorang bocah lucu bermata bola. Tapi ketika keranjingan membacaku harus membuat ayah kelabakan mencari majalah pria dewasa di mana---dan pasti di kamarku---mulailah majalah anak-anak memenuhi rak buku. Ayah pikir masalah akan selesai. Ternyata dia salah kira. Aku melebihi kutunya kutu buku.
"Kau suka baca, ya?" tanya ayah di suatu senja.
"Lucu! Sudah tahu suka baca, kok ayah nanya?"
Kau tahu, sebulan berikutnya ada kiriman tiga kardus besar berisi buku-buku. Ayah akan membuka perpustakaan kecil. Hebat, kan?
Sejak itu, mungkin karena otakku penuh bacaan, maka yang namanya penuh pastilah meluber. Mau dituangkan ke mana, aku bingung. Sementara aku fobia karang-mengarang. Kakak sering kali bercanda, "Nanti otak bisa pecah karena kebanyakan membaca. Menulis, dong!"
Dari SD hingga SMA kalau urusan karang-mengarang nilaiku paling tinggi enam. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi pengarang? Mungkin mentok-mentoknya, aku hanya menjadi pembaca budiman. Hingga ketika ayah memasukkan mesin ketik merk brother ke rumah, Â tanpa sengaja aku mulai merangkai kata yang bagus menurutku, meski buruk menurut orang lain.
Inilah hasilnya yang dapat kau nikmati sekarang. Bagus, kan? Puji sajalah. Memuji itu tak berdosa, selain semakin melebarkan tubuhku yang sudah lebar. Kasih vote juga boleh. Aku sukarela menerimanya.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H