Kau mungkin tahu kertas apa itu. Ya, benar. Koran. Koran yang terbit di hari Minggu. Koran istana cerita, kataku.
Tapi ketika aku sudah lancar membaca, seolah ingin membalas kakak. Tiap Minggu,  aku yang melahap koran. Kakak tinggal leceknya. Dan sepertinya bahan bacaanku selalu kurang. Koran lama dibabat habis. Majalah remaja tak jarang kena libas. Mak sering kehilangan majalah wanita. Ujung-ujungnya dia akan berhasil menemukan majalah itu  di kamarku dengan seorang bocah lucu bermata bola. Tapi ketika keranjingan membacaku harus membuat ayah kelabakan mencari majalah pria dewasa di mana---dan pasti di kamarku---mulailah majalah anak-anak memenuhi rak buku. Ayah pikir masalah akan selesai. Ternyata dia salah kira. Aku melebihi kutunya kutu buku.
"Kau suka baca, ya?" tanya ayah di suatu senja.
"Lucu! Sudah tahu suka baca, kok ayah nanya?"
Kau tahu, sebulan berikutnya ada kiriman tiga kardus besar berisi buku-buku. Ayah akan membuka perpustakaan kecil. Hebat, kan?
Sejak itu, mungkin karena otakku penuh bacaan, maka yang namanya penuh pastilah meluber. Mau dituangkan ke mana, aku bingung. Sementara aku fobia karang-mengarang. Kakak sering kali bercanda, "Nanti otak bisa pecah karena kebanyakan membaca. Menulis, dong!"
Dari SD hingga SMA kalau urusan karang-mengarang nilaiku paling tinggi enam. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi pengarang? Mungkin mentok-mentoknya, aku hanya menjadi pembaca budiman. Hingga ketika ayah memasukkan mesin ketik merk brother ke rumah, Â tanpa sengaja aku mulai merangkai kata yang bagus menurutku, meski buruk menurut orang lain.
Inilah hasilnya yang dapat kau nikmati sekarang. Bagus, kan? Puji sajalah. Memuji itu tak berdosa, selain semakin melebarkan tubuhku yang sudah lebar. Kasih vote juga boleh. Aku sukarela menerimanya.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H