Sejak tamat SMP, saya memang telah menjadi cikal-bakal bajingan. Saya putuskan untuk berhenti melanjutkan pendidikan, dan memilih hidup bebas bersama teman-teman di pinggir-pinggir pasar. Terkadang sibuk mengurusi parkir. Terkadang minum-minuman keras atau berjudi, bahkan teramat sering memalak pejalan kaki. Wajarlah warga di lorong rumah saya takut sekaligus benci kepada saya. Setiap bertemu saya, mereka memilih tersenyum tipis, dan tak ingin terlibat perbincangan lebih lanjut.
Saya merasa menjadi jagoan yang ditakuti. Maka ketika kekurangan uang, saya memberanikan diri maling kecil-kecilan, misalnya maling ayam. Dan ternyata berhasil. Puas maling ayam, saya nekad ikut teman-teman menyatroni rumah seorang kaya. Kenyataannya sangat tak menyenangkan. Kami terpergok. Beberapa di antara kami berhasil kabur, sementara saya dan seorang lagi berhasil ditangkap serta menjadi bulan-bulanan massa.
Betapa sakit hati saya. Apalagi akhirnya saya dijebloskan ke dalam penjara. Saya uring-uringan. Kedua orang tua yang memang tak lagi perduli dengan saya, pun tak pernah menjenguk. Saat itulah saya berkenalan dengan Pardi (nama samaran), seorang napi kasus pembunuhan. Saya berpikir bahwa dia seorang lelaki berangasan. Ternyata tidak. Dia cukup santun, serta taat melaksanakan ibadah agama. Dari ceritanya, saya tahu bahwa dia membunuh hanya sekadar membela diri.
Pada awalnya saya kurang sreg bila berbincang dengannya. Dia seolah menceramahi saya terus-terusan. Tapi saat melihatnya selalu tekun menjalankan ibadah agama, semisal shalat, hati saya tiba-tiba tersentuh. Apalagi ketika dia kemudian mengajak saya shalat berjamaah. Saya menjadi luluh dan malu. Sejak kecil saya tak pernah diajari orang tua mengenal agama lebih dekat. Jangankan mengajari, memberi contoh saja tak pernah.
Persahabatan kami semakin kental. Jiwa jagoan yang menggerayangi hati saya, lambat-laun pupus. Saya merasa bagaikan hamba yang dhaif. Hamba yang tak memiliki kuasa apa-apa. Saya menyesal telah terjebak kotornya pergaulan, sehingga harus menjadi orang yang dibenci masyarakat, kemudian terjerumus ke dalam penjara. Saya bertekad akan bertobat.
Setelah melalui hari-hari melelahkan dan menyakitkan, saya pun bebas. Saya pamit kepada Pardi. Saya berharap dia segera bebas, karena dia bukanlah seorang pembunuh. Dia orang yang baik hati, dan bertingkah laku seperti ustadz.
Saya kembali ke rumah dengan perasaan damai. Saya berharap keluarga menerima kehadiran saya. Nyatanya setelah tak menjemput saya di penjara, kehadiran saya di rumah malahan dicuekin. Lebih parah lagi, tindak-tanduk mereka seolah menunjukkan bahwa mereka tetap menganggap saya bajingan. Saya adalah najis yang mesti dijauhi. Padahal saya telah menunjukkan perubahan yang signifikan, misalnya berbicara tak kasar, shalat lima waktu, dan memberi nasihat-nasihat kepada saudara saya juga kedua orang tua.
"Tak usahlah menipu dengan penampilanmu yang sekarang. Bapak tahu kau hanya berpura-pura baik agar bisa diterima kembali di rumah ini seperti sediakala." Kira-kira Bapak berbicara seperti itu, sehingga membuat saya tersindir.
Sementara keinginan saya bergaul dengan masyarakat sekitar, tak bisa kesampaian. Mereka tetap menganggap saya bajingan. Mereka selalu mengawasi gerak-gerik saya, siapa tahu hendak memalak atau maling. Masing-masing orang tua pun mewanti-wanti anak mereka agar tak berteman dengan saya. Puncak antipati mereka terhadap saya adalah ketika kotak amal di masjid hilang. Saya langsung menjadi sasaran tuduhan. Karena saya adalah bajingan. Karena saya kerap pura-pura ikut shalat berjemaah di masjid. Padahal tujuan utama saya hanyalah ingin menguras isi tempat beribadah itu. Sekali bajingan tetap bajingan!
Berhubung tak ada bukti yang bisa menyeret saya ke kantor polisi, belakangan mayarakat di lingkungan saya menganggap persoalan itu selesai. Sementara hati saya terlanjur sakit. Saya merasa sudah berjuang menjadi warga yang baik. Saya sudah bertobat, dan tak ingin mengulang kesalahan sama. Nyatanya, jangankan masyarakat sekitar, keluarga saya saja tetap menganggap diri ini bajingan.
Saya kemudian bertemu Ali (nama samaran). Saya berkeluh-kesah kepadanya tentang sikap masyarakat dan keluarga terhadap saya. Jawaban darinya adalah, mengharapkan saya kembali ke jalan seorang bajingan. Artinya, saya harus tetap hidup di pasaran, karena bagaimana pun nama saya sudah tercoreng.