Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Kita Harus Lebih Banyak Bersyukur

26 Juni 2019   08:19 Diperbarui: 26 Juni 2019   08:46 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang petani siang ini duduk mencangkung di pematang sawah. Dia kecapekan sambil mengipas-ngipas badan dengan caping. Belum semua gulma berhasil dibersihkan. Rumpun-rumpun padi sebagian menguning karena diserang hama. Dia berencana, setelah membersihkan gulma, dilanjutkan menyemprot pestisida agar padi tak sakit-sakitan.

Dia kembali melanjutkan membersihkan gulma. Berkali-kali dia mengaso, bukan lantaran capek, tapi matahari terlalu menyengat siang ini.

Tiba-tiba istrinya melambai dari dangau. Si petani bergegas mencuci tangan. Di dangau telah terhidang sebaskom nasi dan beberapa potong ikan asin, juga sejumput sambal. Ketika dia duduk bersila di depan istrinya, terhidang pula kuliner mengasyikkan. Semangkok kari kambing pemberian tetangga yang ada hajatan entar malam.

Selera si petani meningkat. Hanya sebentar seluruh hidangan itu ludes. Mata si petani terang. Dia menjilati jemari tangan yang menyimpan gurih kuah kari.

Saat itulah sebuah mobil mewah berhenti nun di seberang. Seorang lelaki tampak membaca koran dengan jendela  mobil yang terbuka penuh.

"Enak sekali seperti lelaki itu," kata si petani. "Kerja tak perlu capek-capek, tinggal di ruangan ber-ac. Tiap bulan bisa bergaji besar. Hampir tiap minggu bisa jalan-jalan. Dia juga mampu membeli rumah dan mobil mewah. Makanannya juga lezat-lezat, bisa gonta-ganti menu. Kalau bosan bisa makan di luar seperti sekarang ini. Jadi orang kaya enak ya, Bu?"

Sementara si lelaki yang ada di dalam mobil mewah, beberapa kali menerima telepon tentang proyek yang gagal di beberapa tempat. Telepon debt collector tentang tenggat waktu pembayaran. Pun pemberitahuan sekretaris kantor bahwa besok harus mencari dana segar untuk proyek yang mangkrak hampir sebulan ini.

Dia pusing tujuh keliling. Saat mengetuk-ngetuk pena, sahabatnya memanggil dari restoran. Tiba waktunya santap siang dengan kolega.

Saat dia duduk di meja makan dan menerima daftar menu, matanya nanar melihat beragam makanan lezat dan menggiurkan, pun minuman segar yang menghanyutkan. Namun, dia teringat perkataan dokter bahwa harus menjaga makan kalau tak ingin kolesterolnya bertambah melonjak. Dia juga teringat gula darah yang sudah berada di atas ambang maksimum. 

Dia memanggil pelayan agar menghidangkan air putih dan sepinggan salad.  Dia menikmatinya sangat terpaksa. Tak sengaja dia melihat si petani yang duduk damai beserta istri. Alangkah nikmatnya hidup mereka. Bangun pagi hanya turun ke sawah. Mereka tak perlu memikirkan proyek-proyek gagal, debt collector dan dana segar. Mereka juga tak pusing urusan kolesterol dan gula darah.

Petani dan istrinya beranjak pulang. Mungkin mereka akan tertidur nyenyak setelah isya karena kecapkan, sementara si lelaki kaya harus berjuang melawan insomnia. Dosis obat tidurnya kembali dinaikkan dokter karena yang sebelumnya sudah kalah. Saat mereka hampir beranjak keluar dari restoran, teman si kaya menjentikkan jari. Artinya dia harus mengeluarkan uang pelicin kepada kolega berkepala botak, agar proyek aman-sentosa.

---sekian----

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun