Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu V

13 Juni 2019   11:10 Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya: 1, 2, 3, 4

Kapak wong

-5-

Berbilang hari terlampaui, apa yang didapat Kecik dari berjualan asongan? Dia hanya bisa menikmati makanan kelas kampung. Nasi putih, sayur berkuah, sambal, ikan asin dan krupuk. Begitulah setiap hari. Padahal sekali waktu dia ingin sering-sering jumawa menikmati ayam goreng Amerika, pizza Italia,  es krim salju. Ah, semuanya hanya bisa didapatkan dengan mudah oleh John Peking. Tanpa harus menggoreng hidup di bawah terik matahari dan tanah yang membakar telapak kaki. Tanpa harus besitegang masalah harga asongan. Sampai berurusan hutang-piutang yang berujung perdebatan alot dan tak jarang berakhir dengan tak bertegur sapa. Duhai, Kecik tergoda!

Mungkin sekali waktu nasib naas menimpa Kecik, katakanlah kalau dia nekat mencari peruntungan menjadi pemalak atau apalah, dan dia terpergok. Orang yang dipalak malah lebih galak. Orang yang dirampok balas membacok. Menjadi bulan-bulanan massa. Dibui.

Tapi toh semuanya butuh pengorbanan. Semakin besar uang yang dihasilkan dari sebuah pekerjaan, maka semakin besar pengorbanan yang harus digelontorkan. Namanya juga hidup, selalu ada timbal-balik. Selalu penuh perjuangan. Bila tak demikian, hidup hanyalah kerakap di atas batu. Hidup segan mati tak mau.

Di sebuah warung kopi tak jauh dari terminal Pulo Gadung, adalah kali kesekian Kecik dan John Peking bertemu. Kendati Musa melihat gelagat buruk dari pertemuan sahabat kecilnya dengan kelompok tikus busuk itu, toh Musa bukanlah orang yang otoriter. Dia fleksibel, dia demokratis. Apapun jalan yang hendak dilalu Kecik, adalah pilihan dan resiko dirinya sendiri. Seseorang tak boleh dipaksakan untuk sesuatu yang belum sebenar keinginannya. Musa hanya memberikan gambaran dan pandangan. Perkara pilihan, sekali lagi terserah tubuh masing-masing.

"Bagaimana? Gabunglah dengan kita-kita. Lo bisa hidup lebih mewah. Lihat jam tangan baruku. Hahaha hasil jambretan. Di toko,harganya bisa sampai empat jutaan. Apa lo tak tergiur? Uang juga penuh sekantong. Mau pelesir ke tempat yang enak-enak, mudah saja. Kalau tertangkap petugas, dengan uang kita bisa lebih cepat bebas. Lagi pula bapak gue kenal banyak petugas. Dari petugas palang pintu, sampai yang berkelas."

"Aku takut dosa."

"Dosa? Hahaha, apakah lo kenal dosa? Lo pernah ibadah?"

"Pernah, setelah tinggal serumah dengan Kek Musa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun