Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu V

13 Juni 2019   11:10 Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mark Picik mencondongkan kepala ke arah Kecik. Selain karena merasa anak itu asing, dia juga tak senang bila juadah di meja tak disantap Kecik. Dia tersinggung dan langsung menggebrak meja.

"Siapa dia?" geramnya.

"Kawan gue, Pak Bos. Sudah gue acc masuk gerombolan John Peking." John Peking mengelus-elus ujung hidungnya dengan punggung jari telunjuk kanan. Dia melirik ke arah sebungkus kacang kulit di hadapan Kecik. Sepertinya dia menyuruh Kecik menyantap kacang kulit itu saja, ketimbang tidak sama sekali.

"Apa kehebatannya?" Mark Picik mendengus. Beberapa orang yang duduk mengelilingi meja, menatap Kecik hina. Mana mungkin anak kecil kurus dan jelek itu bisa diterima begitu saja di gerombolan begundal bernama sangar itu. Kalaupun diterima, pastilah karena John Peking adalah si anak emas.

Tak sepenuhnya benar John Peking yang membuat Mark Picik menganggapnya si anak emas. Melainkan karena bapak John Peking yang bersahabat dekat dengan aparat keamanan. Lagi pula bapaknya seorang anggota Kapak Wong yang tak memiliki gerombolan. Dia berdiri sendiri, bekerja tanpa bantuan. Hasilnya, pekerjaan  lelaki itu selalu berakhir mulus.

"Dia tahan pukul, dan tubuhnya sekukuh karang!" ucap John mempromosikan Kecik.

"Aku ingin menyaksikan kehebatannya!" Mark Picik memanggil seseorang yang ukuran tubuhnya tak beda jauh dengan Kecik. Hanya saja orang itu terlihat lebih gemuk. "Kau coba dulu kekuatan si kurus ini, Don!" Lelaki yang dipanggil Don, cengengesan.

Mark Picik mengajak semua yang ada di ruang rapat itu ke belakang bekas pergudangan. Sebuah lapangan berumput dan dipenuhi semak berduri, menyambut mereka dengan bau-bau tetumbuhan yang khas. Mark Picik menyuruh Don dan Kecik berlaga di lapangan itu.

Hawa pertarungan menyeruak. Selalu begini setiap kali ada anggota baru di gerombolan begundal Kapak Wong. Semacam pengetesan apakah anggota baru itu layak atau tidak. Ketika layak menjadi anggota, diteliti lagi kelasnya. Kelas kecoak atau macan. Kecoak hanya berhak yang remah-remah seperti melancarkan akomodasi. Macan memiliki kekuasaan menyusun rencana-rencana kecil dan memutuskan untuk melaksanakannya. Perkara rencana besar, harus campur tangan Mark Picik sebagai penguasa.

Don melolong ibarat serigala yang menemukan mangsa yang lemah. Kecik menatap awas setiap gerakan lawan di depannya. Bagaimanapun dia tak ingin menjadi pecundang. Dia tak pernah berlatih tarung sebelumnya. Tapi setiap hajaran ayahnya, telah membuat tubuhnya keras ibarat kayu. Lagi pula Kyai Ali pernah mengatakan kalau Kecik bisa menjadi jagoan kelas wahid. Tulang lengannya satu. Tak seperti orang kebanyakan yang lengannya bertulang dua.

"Siap! Mulai!" Mark Picik memberi komando. Para penonton kebanyakan mengelu-elukan Don. Hanya gerombolan John Peking yang meneriaki nama Kecik. Kemenangan Kecik sama saja mengangkat pamor John Peking di mata Mark Picik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun