Aku melihat kenangan itu berkejaran ke huluan. Warung remang-remang. Reklame-reklame rokok. Penjual jasa. Penjual cinta. Dan warung makan berjejalan menjual aroma.
Air hujan memeta kaca. Aku coba menjangkau. Dia begitu dekat tak lebih seinci. Menjadi  jauh, kecuali bus berhenti, mengabarlkan selera di perut. Dan aku menyekanya.Â
Pada saat seperti ini, biasanya Mas Sam yang menyetiriku membelah malam. Meluruskan gelap tetap pada jalur lelap. Betapa damainya rebah di bahunya yang kokoh. Dia mengelus rambutku pelan. Memasukkan sepotong roti ke mulutku ketika mobil terparkir di pinggir jalan. Tentang celetukan mandi air panas, ketika kami menemukan hotel pertama, sebelum hotel yang menjejal pertanda ibukota sudah merapat. Dan aku lebih memilih meringkuk  di sebelahnya dalam mobil yang melaju menuju rumah. Rumahku adalah istanaku.
Sekarang aku mempercayakan kepada lelaki berotot dan berbau masem itu, yang mengarahkanku ke daerah-daerah terpencil. Asap rokok menghalimun. Sendawa, muntahan, dan minyak angin, mengirimkan bau tak sedap. Membuatku ingin perjalanan cepat kelar  Menyambung perjalanan dengan oplet, ojek, atau mobil pick up. Mewawancarai orang-orang terpencil, yang hanya berharap kecil. Menganyam kisah-kisah eksotis, unik, yang membuatku betah menjadi seorang wartawati freelance bagian traveling dan kuliner, atau sesekali menjadi volunteer.
Aku meraih kamera melihat file wajah-wajah unik nan bersahaja. Tawa malu-malu bukan pura. Aku tersenyum. Menggeleng-geleng. Bertopang dagu sambil melihat klise, seakan menghisapku ke kenangan silam. Mas Sam memancing dengan bersemangat di sela-sela senggang. Mas Sam memanggang ikan tangkapan, hingga sebagian gosong. Hingga kami menikmatinya dengan senang, dan anak-anak kampung minta bagian. Dogan sebagai bayaran.
Kusulut rokok, membunuh gelisah saling susul-menyusul. Kuputuskan menekan ujung bara, saat Mas Sam selalu mengingatkan, rokok terkadang menyulut inspirasi, tapi terkadang bukan pemecah masalah, melainkan awal masalah baru.
Kuhabiskan sisa minuman. Menerawang ke luar. Hujan telah berhenti. Dingin tetap menyertai.Â
"Belum tidur?" Suara itu membisik. Sebuah kecupan mengurai dingin di tengkuk.
"Belum mengantuk."
Dia menyandar di punggung jok. Menyilangkan tangan seakan membunuh dingin. Kunaikkan selimut hingga ke batas dadanya, lalu membiarkan sisa gelap membuatnya terlelap.
Bus semakin melaju. Aku melihat sebuah jeep hitam metalik menyalip. Lelaki itu dengan bahagia tertawa. Beberapa kali dia tertawa. Beberapa kali bercerita, hingga lupa realita. Aku ingin menjerit menyuruhnya berhenti. Sebuah tikungan dengan nganga jurang siap menunggu kedatangan. Aku.melihat mobil itu terbang dan menghilang. Aku merasa kehilangan.
"Bun, sudah sampai." Suara itu membuatku terperanjat. Kukucek mata, melihat dia tersenyum. Sepasang kruk kuserahkan. Dia mengecup keningku.Â
"Kalau aku sembuh, aku akan membawamu kemanapun," katanya.
Sembuh? Hatiku mengatakan tidak. Sebelah kaki Mas Sam diamputasi sebatas paha. "Pasti aku bisa." Dia menepuk punggung tanganku. Aku tersenyum. Suara-suara penjual jasa menerobos di antara sejuk pagi. Aku tetap tersenyum. Mencoba tersenyum. Lelaki di dekatku selalu ada, meski sebenarnya dia sering tiada karena celaka mendera.
----sekian----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H