Panas dan gerah terasa sejak lampu mati tiga jam lalu. Walaupun genset menyala, kipas angin dalam posisi penuh, kesejukan tak merasuk, terutama ke dalam hatiku.Â
Di antara teman sekantor, akulah yang paling pendiam. Mau diejek bagaimana pun aku memilih fokus pada pekerjaan. Paling tidak kalau lagi santai, aku membunuh waktu sambil menulis. Aku hanya gabung dengan pekerja lelaki, hanya tuntutan perut. Artinya, ketika jeda istirahat makan siang, aku isi perut sekadarnya. Selepas itu, kulanjutkan shalat dzuhur, dan permisi masuk ruang kerja duluan. Teriakan ""suami aliman" sedikit menyembilu hati. Bukan lantaran aku alim urusan agama. Mutlak karena aku dicap suami manut istri. Anggota klub STI alias Suami Takut Istri.
Padahal mereka tak tahu, sepulang dari kantor, aku selalu ke rumah mendiang Bang Zal. Ada lima anak yatim di situ. Aku harus tahu kondisi mereka aman. Apa mereka kekurangan. Apa mereka butuh cerita yang bisa mengundang tawa.  Atau sesekali aku ingin  membawa makanan enak, agar lidah mereka bisa mengicip makanan orang kaya.
Bang Zal adalah abang sekaligus ayahku. Sejak ayah kami meninggal karena kecelakaan dua puluh lima tahun lalu, praktis Bang Zal yang mengambil alih kemudi rumah tangga. Dia memutuskan tak melanjutkan sekolah demi meneruskan lapak ikan warisan ayah. Dia, dibantu Apak Amak, berjuang sekuat tenaga agar dapur tetap ngebul. Terutama mewujudkan cita-citaku menjadi sarjana ekonomi.
Berkali-kali aku ingin berhenti melanjutkan pendidikan, sekadar meringankan kerjanya di pasar. Tapi, dia selalu tak memberi izin. Harus ada di antara kami yang menjadi orang sukses.
Aku memang berhasil menjadi sarjana ekonomi predikat cumlaude, tapi bertitel SEP atau Sarjana Ekonomi Pengangguran. Namanya sarjana, makan saja masih ditanggung Bang Zal.
Aku beruntung menikahi Aisyah. Meski dia cukup uang untuk seluruh urusan pernikahan kami, Bang Zal dan mendiang ibu tak ingin malu. Bang Zal membongkar tabungannya. Mendiang ibu menjual emas. Semua murni untukku. Tentu tak salah aku membalikkan keadaan, membantu keturunan Bang Zal, setelah aku bekerja di perusahan pupuk itu, thus bergaji lumayan. Urusan Aisyah, sudah mafhum adanya. Tak jarang aku tiba di rumah hampir jam sebelas malam. Meski aku menolak dijamu makan dengan alasan kenyang, ada-ada saja cara Aisyah agar kami bisa makan bersama.
"Yakinlah!" Paolo, sang orator ulung, kembali menyemburkan api. Para penempik sorak bukan main girangnya. Aku menghalau bullyan mereka sambil bermain game di ponsel.
Jujur, satu setengah tahun aku bekerja bersama mereka, tak semalam pun aku bisa diajak menikmati gemerlap lampu kota. Selalu saja ada alasanku, dan pasti tak jauh-jauh dari melayani istri. Aku berbohong. Andai aku ceritakan yang sebenanya, mungkin akan timbul fintah di benak mereka bahwa aku riya.
"Yakinlah, anggota klub STI ini tak akan mau ikut," lanjut Paolo. "Sudah berapa kali dia menolak ajakan kita kumpul-kumpul malam."
Aku dapat mengira-ngira kumpul-kumpul malam itu seperti apa. Ujung-ujungnya narkoba, ngedugem, minum minuman keras, dan tentu tak jauh dari urusan perempuan. Padahal mereka semua sudah menikah. Bahkan umurnya hampir lima belas tahun di atasku.