Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eksistensi Mbah Tini Seolah Tak Lenyap Ditelan Kerut Usia

4 Juni 2019   15:53 Diperbarui: 4 Juni 2019   16:04 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lipatan usia yang terpeta di wajahnya, taklah mengurai semangat  demi menjalani hidup sebagai manusia terhormat. Di usia yang terlalu senja, dia tak ingin berpangku dan menadah tangan  ke anak-cucu. Andai pun dia menadah tangan dalam menjalani sisa hidup, itu bukanlah hal memalukan. Suatu kewajaran yang harus dilakukan setiap anak kepada orang tuanya.

Di saat orang lain lebih sering menyusahkan anak cucu, perempuan itu tetap berjuang agar tidak menjadi sumber masalah.  Jangankan memenuhi kehidupannya seorangan, dia malahan bisa menyisihkan uang jajan untuk  cucu-cicit.

Saya menemukannya di antara kota yang terserak oleh kesibukan. Siang yang panas, telah menghalangi orang bertarung di bawah sinar matahari. Tapi di sudut kota, tepatnya di bilangan kelurahan Bagus Kuning, Seberang Ulu, Palembang, warung yang menyempil di dinding sebuah toko itu, masih mengukir hari dengan sabar. Saya menemukan si  Mbah, begitu saya sering memanggilnya, terbuai oleh angin panas, terkantuk-kantuk di atas bangku panjang, seakan menyambung mimpi yang terpenggal tadi malam.

Saya mulai mengenal si Mbah setelah menetapkan niat untuk hidup mati di Palembang dengan mempersunting perempuan kota pempek ini. Saat itulah saya mengenal si Mbah, dan menjadi pelanggan setianya hampir dua puluh tahun.

Tangan si Mbah seolah memiliki nujum meja makan. Dia penjual gado-gado yang konsisten dengan rasa eksostis nan merayu, bahkan meninggalkan jejak  di lidah, sehingga kerinduan perut kerap mengajuk saya agar mendatangi warungnya yang lumayan jauh itu.

Dokpri
Dokpri
Nama si Mbah adalah Tini. Melihat gerakannya yang lincah mengulek kuah kacang dan mengadon sayuran, setiap orang mungkin menebak usianya masih enam puluhan. Meski kerut usia semakin berlipat, seolah menipu kelincahan itu, ternyata orang terkaget-kaget ketika dia menyebutkan usia sebenarnya. Hampir sembilan puluh tahun. Dimana perempuan seusianya telah menyerah kepada lapik tipis, atau ke panti-panti werdha, dia masih semangat  menjalani detik-detik usia yang sudah plus-plus. Dimana pula orang lain tinggal menghitung hari-hari penantian tangan maut menjalankan tugas, dia masih setia menghitung tangan kehidupan yang membuatnya tetap berdahan dan beranting kokoh, berdaun dan berbuah rimbun. Dia masih memberikan berkah kehidupan kepada orang lain.

Sesuai usinya, mata Mbah  Tini sudah lamur, dan harus sering dikucek. Tapi, jangan tanya pendengaran dan cara berpikirnya, masih saja muda. Ibarat kata, umur sudah sembilan puluhan, tapi hati dan  pikiran tetap enam puluhan.

Mbah Tina memiliki tiga orang cicit, dua orang cucu dan dua orang anak. Berjualan gado-gado sejak dua puluh lima tahun lalu. Orang yang tinggal di Seberang Ulu sangat mengenal si Mbah, termasuk gado-gadonya yang.super enak. Bahkan ketika saya membelinya, gado-gado itu adalah gado-gado terakhir. Padahal dia mulai membuka warung gado-gado sekitar pukuk 11.00 WIB. Selepas dzuhur dia sudah menutupnya.

Ketika sebungkus gado-gado berada di tangan saya, rasa malu itu seketika menyergap. Persoalan mager  (malas gerak)  apalagi setelah booming serba online, membuat saya lebih betah dengan rasa malas. Padahal lipatan usia saya belum kentara. Saya malu kepada Mbah Tini, apakah saya masih bisa berkarya bila usia saya menyamai usianya? Sepertinya saya ragu. Saya hanya bertekad agar mengikuti jejak Mbah Tini yang fenomenal itu.

---o0o0o---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun