Lipatan usia yang terpeta di wajahnya, taklah mengurai semangat  demi menjalani hidup sebagai manusia terhormat. Di usia yang terlalu senja, dia tak ingin berpangku dan menadah tangan  ke anak-cucu. Andai pun dia menadah tangan dalam menjalani sisa hidup, itu bukanlah hal memalukan. Suatu kewajaran yang harus dilakukan setiap anak kepada orang tuanya.
Di saat orang lain lebih sering menyusahkan anak cucu, perempuan itu tetap berjuang agar tidak menjadi sumber masalah.  Jangankan memenuhi kehidupannya seorangan, dia malahan bisa menyisihkan uang jajan untuk  cucu-cicit.
Saya menemukannya di antara kota yang terserak oleh kesibukan. Siang yang panas, telah menghalangi orang bertarung di bawah sinar matahari. Tapi di sudut kota, tepatnya di bilangan kelurahan Bagus Kuning, Seberang Ulu, Palembang, warung yang menyempil di dinding sebuah toko itu, masih mengukir hari dengan sabar. Saya menemukan si  Mbah, begitu saya sering memanggilnya, terbuai oleh angin panas, terkantuk-kantuk di atas bangku panjang, seakan menyambung mimpi yang terpenggal tadi malam.
Saya mulai mengenal si Mbah setelah menetapkan niat untuk hidup mati di Palembang dengan mempersunting perempuan kota pempek ini. Saat itulah saya mengenal si Mbah, dan menjadi pelanggan setianya hampir dua puluh tahun.
Tangan si Mbah seolah memiliki nujum meja makan. Dia penjual gado-gado yang konsisten dengan rasa eksostis nan merayu, bahkan meninggalkan jejak  di lidah, sehingga kerinduan perut kerap mengajuk saya agar mendatangi warungnya yang lumayan jauh itu.
Sesuai usinya, mata Mbah  Tini sudah lamur, dan harus sering dikucek. Tapi, jangan tanya pendengaran dan cara berpikirnya, masih saja muda. Ibarat kata, umur sudah sembilan puluhan, tapi hati dan  pikiran tetap enam puluhan.
Mbah Tina memiliki tiga orang cicit, dua orang cucu dan dua orang anak. Berjualan gado-gado sejak dua puluh lima tahun lalu. Orang yang tinggal di Seberang Ulu sangat mengenal si Mbah, termasuk gado-gadonya yang.super enak. Bahkan ketika saya membelinya, gado-gado itu adalah gado-gado terakhir. Padahal dia mulai membuka warung gado-gado sekitar pukuk 11.00 WIB. Selepas dzuhur dia sudah menutupnya.
Ketika sebungkus gado-gado berada di tangan saya, rasa malu itu seketika menyergap. Persoalan mager  (malas gerak)  apalagi setelah booming serba online, membuat saya lebih betah dengan rasa malas. Padahal lipatan usia saya belum kentara. Saya malu kepada Mbah Tini, apakah saya masih bisa berkarya bila usia saya menyamai usianya? Sepertinya saya ragu. Saya hanya bertekad agar mengikuti jejak Mbah Tini yang fenomenal itu.
---o0o0o---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H