Dasar kutu kupluk! Dia mengumpat dalam hati. Seandainya umpatan itu pecah di mulut, habislah telinganya diberondong kata-kata Safiah serupa ribuan peluru yang diselakkan membabibuta.
"Oiii! Jalan, Mang! Memangnya jalan bapak kau!" Seseorang meneriaki Moor. Lelaki itu baru sadar lampu hijau sudah menyala. Buru-buru digasnya motor. Dia tak ingin terlambat tiba di Bukit Besar, kediaman si Sal. Terlambat artinya tak bisa bertemu lelaki itu, dan dia pulang membawa tangan hampa.
Moor hampir mencapai pertengahan Jembatan Ampera. Tiba-tiba matanya tertumbuk ke sebuah benda sekitar lima meteran di depannya. Waladalah! Sebuah dompet. Ide cemerlang bergemerlap di dalam batok kepalanya.Â
Dia tak mau berpikir panjang, langsung mengerem motor, lalu mengambil dompet itu. Tapi suara desingan dan benturan benda membuatnya tersedak. Sebuah bis kota menabrak motor yang dia pakai. Motor itu terhumbalang mencium trotoar.Â
Moor mengacungkan tinju. Karena merasa tak mempunyai mata untuk melihat tinjunya yang tak seberapa, bis kota itu tetap menancap gas. Dengan gerutuan, Moor mencoba menarik simpati pengendara lain yang berhenti tujuh-delapan orang. Tentu saja setelah dia mengamankan dompet di saku belakang celana jins-nya.
Seorang lelaki berseragam hijau-hijau langsung memberi komentar, "Salah Bapak sebenarnya. Kenapa Bapak berhenti mendadak? Di Jembatan Ampera peraturannya tak boleh berhenti, kecuali kendaraan Bapak rusak atau mogok."
"Iya, Bapak ini yang salah. Aku hampir ikut celaka kalau tak cepat-cepat mengerem motorku." Â
"Iya, Iya! Dia yang salah!" sambut yang lain sambil lalu. Tinggallah Moor menyesali derita. Dia menegakkan motor itu. Untung mesinnya masih bisa dihidupkan. Tapi bagian sayap depan rompal. Kaca lampu depan pecah seribu. Dia menggerutu. Dia melaju menuju bengkel. Dipikir-pikir, Robert, si pemilik motor, pasti akan marah bila Moor mengembalikan motor dengan kondisi begitu.
"Sejam-dua kuambil lagi. Pokoknya didandani yang benar." Moor seakan seorang bos menyuruh pekerja bengkel yang langsung mengerucut muncungnya. Kemudian Moor menyetop bis kota menuju Bukit Besar.Â
Dalam hatinya, Sal akan berbaik hati meminjamkannya lebih dari seratus ribu. Jadilah buat tambahan pembeli rokok. Mulutnya belakangan ini sering pahit karena dia dijatahi Saifah satu batang rokok setiap hari.
Beruntung nian lelaki satu ini. Sal memang sedang duduk di teras rumahnya. Tapi tampilan wajahnya yang semberawut, membuat nyali Moor runtuh. Andaikata lelaki itu memberikan pinjaman seratus ribu, pun sudah syukur. Kalau hanya lima puluh ribu, atau lebih parah tidak sama sekali, bagaimana?