Pagi baru saja menyembul dari tidurnya yang penat. Tapi matahari sedemikian cepat merapat, membuat ubun mendidih bukan pada waktu yang tepat. Moor memacu motor melesat sangat. Isi kepalanya berpusing.Â
Hari ini dia butuh uang seratus ribu rupiah bakal menambahi uang pembeli seragam dan sepatu anaknya yang akan masuk SMP. Tujuannya sekarang adalah menemui Sal, teman karib yang selalu rela meminjamkan uang. Meminjam seribu, harus dikembalikan dua ribu alias 9ngerente.
Moor benar-benar melahap jalan mulai dari rumahnya di ujung Plaju sampai ke lampu merah Jaka Baring. Dia berzigzag sehingga bergeloralah sumpah-serapah pengendara lain. Jangankan jalan, trotoar pun disetubuhi ban motornya yang mulus-gundul itu.Â
Bukan memang Moor senang mengebut. Emosinya saja yang meledak-ledak karena Safiah, istrinya, selalu menyerocos terus serupa cerobong Pusri tentang kelambanan suaminya itu mencari uang.Â
Padahal Moor bukan tak mau mencari uang. Uang yang tak mau menyembah di telapak tangannya. Bekerja sudah. Apalagi! Bahkan dia rela bekerja seperti jongos di warung nasi Marjian. Apesnya, Marjian baru bisa membayar upahnya separoh. Dia berjanji dua minggu ke depan akan melunasinya.
"Kerja kok membantu-bantu orang di warung. Lihat tuh si Samidin, Karudin dan kawanmu yang Din-Din itu, mereka cukup uang, bahkan untuk foya-foya di kedai tuak Marolop." Suara Safiah mengiang-ngiang menyakitkan. Membuat telinga panas seperti habis dientup tawon.Â
"Aku bosan malak seperti mereka. Sakit rasanya dipermak petugas ketika dua bulan lalu aku memalak bis kota di Sudirman. Kerja yang lurus-lurus sajalah."
"Uh, apa guna badan Abang tegap seperti Rambo!"
"Apa badan tegap harus menjadi pemalak?"
"Apa guna rambut plontos?"
"Bukannya aku tak ingin berambut. Rambut saja yang ogah tumbuh di sini." Moor menunjuk batok kepalanya.Â