Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pak Lumutan

21 Mei 2019   11:30 Diperbarui: 21 Mei 2019   11:37 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki yang tinggal di ujung gang itu biasa dipanggil Pak Lumutan. Rumahnya berdinding papan dan beratap seng. Tak seorang anak pun yang berani melintas di depan rumahnya. Selain mereka takut, setelah rumah Pak Lumutan hanya ada tembok pembatas setinggi tiga meter.

"Wajah Pak Lumutan seperti apa? Apa penuh lumut?" tanya Ikbal kepada Nurul. Mereka sedang beristirahat di bawah pohon akasia. "Lalu, kenapa dia digelar begitu?"

"Sama seperti kita juga, berwajah manusia," jawab Nurul sambil tertawa. Ikbal merengut. "Mungkin karena dia jarang keluar rumah, maka dia digelar begitu."

Ikbal belum pernah bertemu Pak Lumutan. Maklum, dia dan keluarganya baru tinggal di gang itu sekitar tiga minggu. Bagaimana kalau Pak Lumutan itu orang yang jahat? Misalnya, dia penculik anak. 

Bayang-bayang Pak Lumutan seolah mengikuti  Ikbal.. Bahkan dia bermimpi bertemu Pak Lumutan. Wajah lelaki itu penuh lumut. Dia menangkap Ikbal dan memeluknya rapat-rapat. Tubuh Ikbal tiba-tiba berubah penuh lumut. Saat dia berteriak minta tolong, ibu langsung membangunkannya.

"Tak baik menggela-gelari orang, Ikbal!" tegur ayah ketika mereka berbincang di teras rumah. Ibu sedang menyiapkan panganan sore di dapur.

"Tapi orang di sini menyebutnya Pak Lumutan. Mungkin orangnya aneh ya, Ayah?" Ikbal tersenyum sambil tertunduk. Ayah mendelik kurang senang. Ibu sambil menghidangkan panganan, menasihati Ikbal. Kata ibu, nama lelaki itu Sukendar. Orangnya ramah. Ibu dan ayah pernah bertemu dia di pasar. Tanpa meminta tolong, Sukendar membantu ayah dan ibu mengangkat perabotan yang baru dibeli ke atas bak mobil pick up. Saat itulah mereka berkenalan, dan ternyata mereka tinggal di gang yang sama.

"Oh, begitu!" gumam Ikbal. Hatinya menjadi tenang. 

***

Siang ini Ikbal membantu Pak Yayat menyusun buku di perpustakaan. Dia terpaksa pulang jalan kaki dan sendirian. Ayah tak bisa menjemputnya  karena ayah sedang ke luar kota sejak kemarin sore. Sementara Nurul sudah pulang ke rumahnya dua puluh menit yang lalu.

 "Kau pulang dengan siapa?" tanya Pak Yayat kepada Ikbal. Tugas menyusun buku di perpustakaan sudah selsai. 

"Saya pulang sendirian, Pak. Rumah saya tak jauh dari sini. Mari, Pak!" Ikbal bergegas pulang karena langit terlihat gelap. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

Hampir mencapai gang menuju rumahnya, ternyata hujan  belum turun. Ikbal menghembuskan napas lega. Tapi tunggu dulu! Jantung Ikbal berdegup kencang saat melihat seekor anjing mengintainya dari halaman sebuah rumah. Ikbal berusaha tenang-tenang saja. Rasa takut akan membuat anjing mengejarnya. 

Tiba-tiba anjing itu mengikuti Ikbal. Tanpa sadar, Ikbal berlari ketakutan. Anjing mengejarnya hingga ujung gang. "Aduh, gimana ini!" keluh Ikbal. Dia bersandar di tembok. Anjing itu mulai menggonggong dengan galak. 

"Bigo, jangan ganggu! Sana pulang!" kata seseorang dengan lembut. Anjing itu diam, dan langsung pergi. Ikbal mengelus napas lega. Seorang lelaki seumuran ayahnya, mengajak Ikbal ke teras sebuah rumah. Dia memberi Ikbal segelas minuman dan sepiring panganan. 

Setelah Ikbal merasa tenang, orang itu mengantar Ikbal pulang ke rumahnya. Ibu yang sedang mengambil pakaian di jemuran terkejut melihat Ikbal diantar orang.

"Ada apa dengan Ikbal, Pak?" tanya ibu.

"Ikbal tadi dikejar anjing sampai ke ujung gang. Tapi, tak sampai terjadi apa-apa," jawab orang itu.

"Iya, Bu! Untung ada bapak ini yang membantu Ikbal," sambung Ikbal.

"Kalau begitu saya permisi pulang dulu, Bu!" Orang itu berlalu.

"Terima kasih banyak bantuannya, Pak Sukendar," kata ibu. 

Saat ibu dan Ikbal hendak masuk ke dalam rumah, Ikbal bertanya, "Pak Sukendar? Maksud ibu dia itu...?"

"Jangan sebut Pak Lumutan lagi, ya!"

Ikbal tersenyum lega. Ternyata Pak Sukendar itu tak menakutkan seperti yang dia bayangkan selama ini

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun