Rumah tak akan tergadai pada amuk masa, ketika muda belajar mencinta, Â menua tak jarang mengumpan benci, saat kehilangan rasa, suka itu tergulung kuasa, begitu kita harus belajar menghitung kekurangan, yang kurang itu dengan tekun kau genapkan.
Padamu terkadang aku belajar menjadi rumah, membiarkan segala celoteh, dan membiarkan jelaga mengusap harga diri, ternyata aku terjaga, aku bukan apa-apa.
Padaku selalu roda, yang melindas segala tak jeda, ternyata hanya sedikit pembeda dari beratnya rumah tangga, manakala suatu waktu harus mengasuh kerja seperti bukan apa-apa, antara kekuatan, kau memiliki delapan kepala untuk mengeja, delapan mata membaca warna, delapan tangan dan kaki, menjaga segala, pada pulangku kau hangatkan aku dengan segelas canda, seakan lalu waktu tak menjadi pembeda, meski kau tak mengenal jeda.Â
Membaca langkahku, seharusnya sangat kurang, pada kakimu berdiam surga, pada matamu tak pernah murka, biarkan peluh itu meresap poriku, jangan sampai terbit di mata, menjadi air yang menggaris luka, karena kita menua pada larutnya cinta.
Ujungakar052019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H