Dari elus tanganmu, aku merasakan lembut hati, samudera sutera tak dapat mengalahkan titah suci, waktu tak pula berhasil meraut usia, saat kerut mengalahkannya.Â
Mungkin, sering aku mengeja malammu, pada kerdip teplok dan kerdip mata, mungkin aku sering membanter tidur malammu karena haus melanda, pun ketika tersungkur kau jeda meramu doa, setelah aku mengotori kainmu yang suci.
Telah pula kau menghentikan binal lariku seperti tak punah lelah, petuah-petuah, nasihat-nasihat, agar gigih bersihkan onak duri, meniti lapang dunia-akhirat. Tentang tulang rusuk, tentang tangis baru yang disemai. Selalu aku larut dalam ludahmu yang membantu agar aku tak batu.
Saat senja ini hampir mengatup, aku selalu mencari elusmu di antara kamboja, selain daun lapuk yang dapat dibaca.
Saat hujan menambahi rasa asin itu semakin kentara, aku merasa sering gagal menarung hidup, gagal memberi apa, setelah kelar usia aku luka. Masih banyak yang tersia saat bersama, ketika jeda, aku tersadar menyadap duka.
Ujungakar052019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H