Ibu menatap heran. "Jadi?"
Irna menceritakan kalau coklat yang dia maksud bukan makanan. Anak-anak menyebut kata coklat, maksudnya kulit Irna coklat. "Irna nggak mau bersekolah di di sana."
"Ah, anak ibu jangan berkata begitu. Mungkin mereka hanya ingin menggoda Irna. Mungkin mereka ingin berbincang-bincang karena Irna kan suka berdiam diri. Pindah sekolah tak akan menghentikan ejekan. Siapa tahu di sekolah lain, anak-anak lebih usil dari anak-anak di sekolah yang sekarang." Ibu berjalan ke kamar. Ibu menyuruh Irna lekas mandi dan memakai seragam sekolah. Keusilan orang akan lenyap sendiri kalau Irna menunjukkan kelebihannya. "Tunjukkan kehebatan Irna dalam bidang pelajaran matematika!"
"Tapi, Irna sudah terlambat masuk ke sekolah. Irna bisa dihukum," rajuknya.
"Irna harus terima. Setiap kesalahan pasti ada balasannya. Ayo! Jangan sampai ibu cerita kepada papa, ya!" kata ibu mengancam. Irna ketakukan mendengar kata papa. Dia bergegas mandi, mengenakan seragam sekolah, sarapan, dan berlari ke sekolah yang jaraknya sekitar tiga ratus meter dari rumahnya. Ternyata  semua anak-anak sudah berada di dalam kelas. Untung saja Pak Sapto, penjaga sekolah, belum menutup pintu pagar. Irna berlari menuju kelasnya sambil mengucapkan terima kasih kepada bapak itu.Â
Tapi, tentu saja Pak Gunardi yang galak tak mungkin membiarkan Irna duduk di bangkunya sebelum memberi hukuman. "Kenapa terlambat!" bentak Pak Gunardi. Anak-anak cekikikan. Ternyata bukan anak-anak di sekolah ini saja yang membuatnya kesal, gurunya juga menyebalkan.
"Anu! Anu! Anu!" Irna hampir menangis.
"Anu, anu, apa? Sebagai hukuman untukmu, kerjakan soal matematika yang bapak tulis di papan tulis. Kalau tak berhasil, kau berdiri di depan kelas sampai pelajaran bapak selesai!" ancam Pak Gunardi. Anak-anak tak dapat menahan tawanya, sehingga Pak Gunardi melotot.
Pelan-pelan Irna melihat soal di papan tulis. Dia melirik Pak Gunardi. Mungkin bapak itu yakin bahwa Irna tak akan berhasil menyelesaikan soal itu. Tapi, bagi Irna soal itu amat mudah. Hanya sekitar tiga menit dia sudah mengatakan, "Selesai, Pak!" Anak-anak tertawa lagi. Mereka tak yakin kalau soal itu bisa diselesaikan dengan cepat. Irna barangkali mengerjakannya asal-asalan.
"Jangan main-main, ya? Cara menjawab soal itu baru akan bapak jelaskan di kelas ini." Pak Gunardi berdiri, lalu melihat jawaban Irna. "Wah, hebat! Bapak kira kau tak bisa mengerjakannya!" Dia tanpa sadar bertepuk tangan. Anak-anak melongo.Â
Mulai saat itu tak ada lagi anak yang meneriakkan kata coklat. Semua ingin berteman dengan Irna. Semua ingin diajari cara menjawab soal matematika. Benar kata ibu, ternyata kehebatannya dalam pelajaran matematika, bisa menyelesaikan masalahnya.