Sedang lelap-lelapnya tidur, tiba-tiba Irene mendengar suara sesuatu yang jatuh. Dia langsung duduk. Dia heran, Nenek tidak ada di sebelahnya. Setelah mengenakan sendal, dia keluar dari kamar. Di ruang tengah, Nenek sedang memungut sesuatu. Sebuah album!
"Oh, Irene terbangun, ya? Maaf, Nenek sampai membangunkanmu." Nenek duduk di atas sofa sambil melambai kepada Irene.
"Nenek sedang apa?" Irene duduk di sebelah Nenek. Dilihatnya Nenek sedang memasukkan foto Adek ke dalam album. "Eh, ada foto Irene juga, ya! Manis dan lucu! Kalau Adek, ah... suka menangis. Suka menjerit-jerit."
"O, apa iya?" Mata Nenek membulat seperti kelereng.
Irene merasa bersalah. Dia keceplosan ngomong tentang Adek. "Ngg, iya!" Akhirnya dia mengakuinya juga. "Saat masih bayi, Irene nakal ya, Nek?"
"Oh, cucu Nenek tak ada yang nakal, kok! Tapi...." Nenek menatap ke langit-langit rumah. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang menyedihkan hatinya. Irene dapat melihat mata Nenek berair. Nenek menangiskah?
Irene merasa tak enak hati membuat Nenek bersedih. Ditepuk-tepuknya tangan Nenek dengan penuh kasih-sayang. "Tapi kenapa, Nek?"
"Sejak lahir, Irene sering sakit-sakitan. Hampir setiap bulan Irene  dirawat di rumah sakit. Ibu Irene selalu bersedih. Tubuhnya kurus karena memikirkanmu, Irene. Pernah sekali dia harus dirawat di rumah sakit karena kelelahan. Ayah Irene juga sempat diperingatkan atasannya di kantor sebab sering sekali tak masuk kerja."
Irene ternganga. Begitukah dia semasa bayi, sering menyusahkan orang tuanya?
"Tapi beruntung setelah berusia tiga tahun, Irene sehat dan kuat. Lincah dan imut seperti sekarang. Hei, kenapa kamu malahan yang bersedih, Irene?" Nenek mengguncang-guncang pundak Irene.
"Tak apa-apa, Nek!"