Ketika kamu asal-asalan membuat hidangan berbuka, sepertinya tak mengapa. Sebab bagi orang lapar, apa saja yang ada di meja, mungkin terasa nikmat. Berbeda bila hidangan sahur, sepertinya tak boleh kamu buat  asal-asalan. Pertama, karena perut masih terasa kenyang. Kedua, sebab mata masih merasa lapar (mengantuk). Oleh sebab itu, harus pintar merayu lidah agar tetap berselera santap sahur. Jangan sampai hanya minum seteguk dua air, sekadar melepaskan sunnah sahur.Â
Di sini saya akan menghidangkan kuliner  yang sangat menggugah selera sahur. Kendati mata merem melek, nasi di panci masih habis satu piring lebih. Mungkin kamu sering mendengar kuliner satu ini. Namun karena belum pernah mengicipnya, bisa jadi dia masih terasa asing.
Adalah gule bulu gadung atau gulai daun ubi tumbuk, menu wajib masyarakat Mandailing. Paling tidak satu kali tiga hari, kuliner ini hadir di meja makan. Berhubung membuatnya sedikit memakan waktu, biasakanlah memasak gule bulung gadung setelah shalat tarawih. Menjelang sahur, kamu tinggal memanaskan gule saja. Prinsip gule bulung gadung hampir sama dengan rendang. Semakin sering dipanaskan, hingga kuah mengering, cita rasanya bertambah tajam.
Karena saya berdomisili di Palembang, proses masak dan bahan baku  gule bulung gadung mestilah tidak sama dengan di Mandailing. Hanya saja cita rasanya tak akan jauh berbeda.
Bahan baku yang harus disiapkan :
Satu ikat daun ubi Â
Santan dari setengah potong kelapa
Buah cepokak segenggam atau sesuai selera
Satu ekor ikan salai
Tiga siung bawang merah
Tiga batang cabe hijau