"Kamu yakin?" Ibu menatap Arya yang langsung tersenyum senang.
"Yakin apa, Bu?"
"Masalah hape itu," lanjut ibu.
"Kok ibu tahu aku ingin membeli hape? Aku berjanji tetap rajin belajar, tetap mau disuruh ayah-ibu. Pokoknya aku tetap Arya yang dulu. Janji, Bu."
"Terserah kaulah, Arya. Celengan itu celenganmu. Uang itu uangmu. Cuma, janji jangan sampai dilalaikan hape, ya!" Ibu menuju ke dapur.
"Siiip, Bu. Uhuy!!!" Arya berjingkrakan. Celengan ayam itu dia hempaskan ke lantai kamar. Uang pun berhampuran. Dia membayangkan hape android sudah di tangan. Tapi, saat dia hitung, jumlah uang hanya empat ratus lima puluh satu ribu Rupiah. Padahal kata Anto, harga hapenya saja dua juta Rupiah. Hape android yang asyik untuk main game, paling tidak berharga satu juta Rupiah.
Lemaslah badan Arya. Dia teringat ibu. Dia melangkah ke depan rumah setelah merapikan celengan ayamnya. "Bu," ucapnya pelan.
"Ada apa?" tanya ibu tanpa melihat Arya. Dia sedang sibuk memotong-motong tempe.
"Boleh nggak, anu...." Tiba-tiba ayah muncul sambil mendorong sepeda motornya. Dia kelihatan lelah. Setelah sepeda motor dia parkirkan, ayah masuk ke dalam rumah. Ibu menyusulnya. Tak  biasanya ayah pulang mengojek masih siang. Ayah biasanya baru ada di rumah menjelang maghrib.
Arya menuju kamarnya untuk bersalin pakaian.  Saat itulah dia mendengar ayah bercerita tentang rantai. Rantai sepeda motor ayah putus. Rantai itu sudah  satu kali disambung. Ayah harus membeli rantai yang baru. Padahal dia tak cukup uang membelinya. Sedari pagi dia baru mendapatkan penumpang dua orang.
"Ada sih ibu uang untuk modal jualan besok. Pakai saja dulu, Yah. Biarlah besok ibu libur dulu. Yang penting ayah tetap bisa mengojek."