Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Nama Ayamku Rijal

4 Mei 2019   11:12 Diperbarui: 4 Mei 2019   11:13 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rijal ke mana, ya? Aku sudah mencarinya ke seluruh pekarangan dan dalam rumah, namun dia tak ada. Ibu sampai berkacak-pinggang melihat hasil karyaku membuat seisi dapur berantakan. Setelah bersusah-payah merapikan dapur, aku menanyakan kepada Ibu tentang Rijal.

"Apa Ibu terus-terusan mengikuti Rijal? Mungkin dia main ke rumah tetangga. Cari saja sendiri, Ibu lagi banyak kerja!" Ibu kembali mengupas bawang merah hingga matanya berair. 

Aku berjalan tertunduk-tunduk menuju rumah Asep. Mudah-mudahan dia mau membantuku mencari Rijal. Tapi, Asep tak ada di rumah. Hanya ada Suryanto sedang bermain layang-layang di halaman depan. Dia tertawa melihatku seperti kakek-kakek berjalan tertunduk-tunduk. Tinggal memakai kacamata tebal, pastilah aku mirip Kek Ito.

"Jadi, kau sedang bingung karena Rijal hilang? Tenang saja, pasti dia pulang kalau hari sudah sore. Ayamku juga selalu main ke mana-mana. Tapi mereka tetap ingat pulang ke kandang," kata Suryanto ketika aku menjelaskan si Rijal hilang.

"Rijal itu ayam kesayanganku. Dia pemberian Paman As. Aku baru dua hari memeliharanya. Biasanya dia hanya bermain-main di sekitar pekarangan rumah. Tapi, ini hampir pukul empat sore, dia belum kelihatan."

Kami terdiam. Suryanto kembali asyik dengan layangannya. Sementara aku memilih keliling kampung, siapa tahu bisa bertemu Rijal. Di tengah jalan aku bertemu Pak Oto. 

"Maaf, Pak Oto. Pernah melihat ayam jantan putih dengan taji yang panjang? Itu ayamku, si Rijal," tanyaku kepadanya. Pak Oto mengernyit, lalu menggeleng. Ketika dia mengatakan barangkali ayam itu telah dicuri orang, hatiku langsung cemas. Bagaimana kalau Rijal telah dijual pencuri? Bagaimana kalau dia sudah dijadikan gulai? 

"Yang sabar, Afan! Mungkin saja dia lagi bertandang ke rumah tetangga. Apakah di rumahmu ada ayam lain? Misalnya ayam betina?" Pak Oto menepuk-nepuk pelan bahuku.

"Rijal adalah ayamku satu-satunya, Pak Oto."

"Hmm, pantas saja dia kabur. Kau harus memberikannya teman agar tak kesepian."

Hatiku bertambah bingung. Selain sangat sayang kepada Rijal, aku mau jawab apa kalau bertemu Paman As? Ayamnya hilang? Wah, Paman As bisa membatalkan janjinya memberikan aku sepasang kelinci.

Hampir maghrib aku tiba di rumah. Ibu memarahiku karena lupa shalat ashar. Cepat-cepat aku mandi, lalu menyusul Ayah ke masjid. Selesai shalat maghrib, aku bemain petak umpet di halaman masjid. Saat itulah Suryanto datang sambil terengah-engah. Kasihan, orang sudah shalat, dia baru datang. 

"Kenapa kau sampai terengah-engah begini? Kau mau mengejar apa? Mau shalat berjamaah sudah terlambat!" kataku. Suryanto mengelus-elus dadanya sambil menarik napas panjang. Beberapa saat kemudian dia menceritakan tentang ayam itu. Maksudku tentang si Rijal yang hilang.

"Aku sudah yakin anak itu pelakunya! Aku melihat Rijal diikat di teras rumahnya. Ayo, sikat saja! Anak baru sudah macam-macam. Tunggu apa lagi?" kata Suryanto sambil menunjuk ke arah anak yang sedang bersandar di dinding masjid. Suryanto  menggulung lengan baju, siap bertarung. Tapi cepat-cepat aku menenangkannya. Belum tentu anak itu pelakunya, Suryanto sudah mau main sikat. Memangnya lantai perlu disikat?

Rijal adalah ayamku, bukan ayam Suryanto. Jadi, aku yang berhadapan langsung dengan anak baru itu. Seluruh teman yang bermain petak umpet, akhirnya berkumpul di dekat kami. Mungkin mereka berpikir akan ada pertarungan besar malam ini.

"Hai, namaku, Afan. Kau tetangga baruku itu, kan?" Aku mendekati anak itu sambil mengulurkan tangan akan menyalaminya. Bukannya menerima uluran  tanganku, dia malahan menyilangkan tangan di depan dada. Gigi Suryanto bergemeretak menahan marah. Aku mendorong tubuhnya agar menjauh dari anak itu. Kata Ibu, seluruh permasalahan  tak perlu diselesaikan dengan kekerasan. Berdamai itu lebih indah dan menyenangkan.

"Aku sudah tahu siapa namamu! Kau mau mencari ayammu, kan? Aku sudah mengikatnya!" ketusnya.

"Kau?" Suryanto melotot. Seluruh anak mengepung anak itu. Aku menenangkan mereka.

"Kenapa ayamku kau ikat? Apa salah dia?" tanyaku.

"Dia tak salah apa-apa. Tapi  kau yang salah memberi nama!" gerutu anak itu.

Tiba-tiba Suryanto tertawa terbahak-bahak. Aku menyikut rusuknya karena tak senang. Saat itulah dia terdiam sambil menahan tawa.

"Baguslah kau tukar nama ayammu, Afan!" Suryanto terdiam sebentar. "Karena nama teman baru kita ini R-I-J-A-L."

Kami semua akhirnya tertawa bersama. Baiklah, aku akan mengganti nama ayam itu. Teman-teman ada saran siapa namanya?

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun