Aku hampir mengurungkan niat makan di rumah makan Padang itu kalau tak ingat tengah bersama seorang perempuan pengemis dan anak di gendongannya. Dia pasti kecewa batal makan besar. Namun ketika kaki kami mendekati meja hidangan di rumah makan itu, suara hp kembali berbunyi. Kali ini bukan hp-ku, tapi hp si pengemis.
Dia permisi ke luar sebentar. Aku hanya melongo. Pengemis memiliki hp? Hahaha, dunia sudah terbalik. Tapi jaman sekarang, hp memang tak asing lagi. Jangankan pengemis, narapidana saja masih dibebaskan menggenggam hp di selnya.
"Maaf, Pak! Ada bisnis sebentar. Saya tak jadi makan," kata pengemis perempuan itu.
"Bisnis?" Aku kembali melongo. Sebelum dia menghilang, kugenggamkan uang limapuluh ribuan ke tangannya. Sementara aku urung menikmati masakan Padang. Aku meminta dibungkuskan nasi rendang saja. Kemudian menaiki taksi yang kutumpangi tadi. Ternyata sang sopir masih betah menunggu, atau memang karena belum mendapatkan penumpang baru.
Setiba di halaman rumah, rasa kangen ini semakin menyengat. Aku ingin tiba-tiba bertemu Rohimah, teristimewa anakku yang pasti sedang lucu-lucunya. Sayang, ketika melongok ke dalam rumah dari kaca jendela depan, hanya sunyi-senyap menyambutku. Ke mana orang-orang? Rohimah mungkin masih di dalam perjalanan. Pembantu baru itu harusnya ada. Lalu anakku siapa yang menjaga? Apa diajak jalan-jalan olehnya? Wah, ini tak bisa dibiarkan!Â
Beruntunglah Rohimah datang dengan senyumannya yang lepas. Dia memelukku erat-erat. "Kok masih di luar?" tanyanya.
"Rumah dikunci!" gerutuku.
"Lho, Hafnida di mana? Buyung dengan siapa? Tadi sudah kutelepon dia supaya siap-siap menghidangkan penganan kesukaan Ayah" balas Rohimah menggerutu. Buyung adalah nama anak pertamaku.
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba seorang perempuan yang menggendong anak tergopoh-gopoh mendekat. Dia sangat ketakutan.Â
Rohimah berang. "Ke mana saja kau? Lalu kenapa Buyung memakai baju kumuh begini?" tanya Rohimah sambil mengambil anak di gendongan perempuan itu.
"Maaf Nyonya, saya...." Perempuan itu menoleh ke arahku. Matanya membola. Ingatanku bergerak cepat ke kejadian sejam lalu. Dia samar kukenal. Dia pengemis itu. Lalu anak yang bersamanya? Brengsek!