Siang merapat. Segera aku turun dari teras bandara SMB II sambil memanggil taksi. Ah, terasa banyak perubahan di kota yang sudah setahun kutinggalkan. Apa ini memang perasaanku saja? Atau memang banyak yang berubah di kota ini?
Aku membayangkan Rohimah, istriku, sedang apa dia kini. Mungkin seperti perkataannya di telepon kemarin, dia tengah siap-siap menghidangkan segala penganan kesukaanku. Dari durian---yang meski lagi langka---tetap dibeli. Martabak kuah kari. Model ikan dan empek-empek. Hmm, rasanya liur ini buncah. Tapi kemarin aku sudah wanti-wanti, jangan terlalu repot. Aku hanya menginginkan dia sehat wal afiat. Termasuk anak pertamaku yang sekarang lincah dan ganteng, katanya.Â
Anak itu lahir ketika aku sudah berada di pengeboran lepas pantai untuk jangka waktu setahun. Meski hati merutuk ingin melihat berkah yang besar itu terlahir, tapi yang namanya kerja lebih memaksa. Siapa yang ingin di-phk dari tugas berat berpenghasilan lumayan itu karena mangkir? Hanya orang bodoh!
Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5cca1906cc528302682dc375/balada-seorang-pemabuk
Aku ingat canda Latif, rekan kerjaku, saat kami mengaso di atas geladak kapal yang mengantarku ke sebuah dermaga di Kalimantan kemarin. "Anakmu mungkin takut melihat kedatanganmu. Bahkan meski dibujuk-bujuk istri, bisa saja dia hanya mau memanggilmu Om. Bukan ayah! Hahaha. Aku ingat ketika kecil dulu aku sempat membuat keluargaku geger."
"Anakku berumur setahun. Belum bisa memanggil ayah atau om. Hahaha!" balasku.
Kehidupan Latif dan ayahnya memang tetap berada di atas laut. Bedanya, Latif bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, sedangkan ayahnya seorang nakhoda. Kata Latif, saat berumur satu setengah tahun, dia ditinggal ayahnya berlayar dalam waktu  cukup lama. Ketika sang ayah pulang setelah Latif berusia tiga setengah tahun, dia sama sekali tak mengenali orangtuanya itu. Dia terkejut sewaktu terbangun di malam hari melihat seorang lelaki tidur di sebelah ibunya. Rahasia itulah yang tak dapat disimpinnya, hingga pagi hari pecahlah tangisnya di rusuk rumah. Seluruh keluarga bahkan tetangga kelabakan ketika dia menceracau bahwa ibunya tidur dengan seorang lelaki. Usut punya usut, ternyata lelaki itu adalah ayahnya sendiri yang sedang pulang cuti setelah dua tahunan melanglang di lautan luas. "Hahaha!" Tawa Latif pecah. Aku hanya mesem-mesem mengingat rekanku yang suka membanyol itu.
"Mau ke mana, Pak?" tanya sopir taksi mengejutkan dan membuatku sadar telah sekian menit berada di dalam taksi melintasi Bumi Sriwijaya. Kupicingkan mata melihat suasana di luar yang terik.Â
"Jalan Angsa, Plaju!" Kuseka keringat yang mendidih di dahi. Teringat lagi aku kepada anak pertamaku. Hmm, sepertinya tak wajar bila aku tak membawanya oleh-oleh yang berarti. Di bagasi hanya ada sekardus jeruk dari Kalimantan, pakaianku setas besar, dan beberapa pernak-pernik etnik untuk Rohimah dan ibunya. "Kita ke mall dulu. Kalau bosan menungguku, biarlah aku nanti cari taksi lain. Kangen sama anak. Aku ingin membelikannya mainan." Sopir taksi mengangguk.
Sepuluh menit kemudian, taksi memarkir di dekat mall. Kubayar ongkos dan berlari menghindari rintik hujan yang turun tiba-tiba. Aneh, tadi panas terik, lalu langsung gerimis. Alam memang tak bisa mengatur rotasi hidupnya, karena manusia telah merusaknya. Termasuk aku pelakunya, mungkin!
Brukkk!