Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Makam Kyai Sobri

27 April 2019   13:16 Diperbarui: 27 April 2019   20:40 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

"Itulah, Mar. Sudah kukatakan jauh-jauh hari, susah merubah kebiasaan orang yang sudah mentradisi, mengurat, mengakar. Bukan hanya masalah ziarah, ibadah-ibadah lain yang sebetulnya menyalah, tetap dipelihara dengan baik. Padahal kalau mereka menanyakan ke hati kecil masing-masing, toh hati kecil terkadang mengatakan bahwa itu salah. Hanya saja, ego yang membuat mereka tetap tegas menjawab bahwa yang mereka lakukan memang benar." Panjang lebar Rais menyeramahiku via telepon. Telingaku sampai panas. 

"Tapi apakah harus dibiarkan begitu saja?"

"Mar, seperti yang kukatakan sebelumnya, banyak makam-makan lain yang diziarahi dengan cara yang salah. Toh, sepertinya itu seolah dibenarkan oleh masyarakat."

"Tapi kita turut berdosa kalau membiarkan kondisinya tetap begitu!"

Rais menghela napas. "Ya, mau buat apalagi!"

Aku kemudian menulis selebaran---hampir cocok disebut makalah---tentang bahaya dan dosa musyrik, pun bila dikaitkan dengan perilaku ziarah yang menyalah. Selebaran itu aku letakkan begitu saja di makam Kyai Sobri. Semoga ada yang membacanya. 

Ada seorang-dua peziarah yang melihat perbuatanku, tapi aku sudah pasrah. Aku tak perduli lagi bila mereka mengadu kepada Mat Amin. Aku tak takut kendati Mat Amin mencidukku dengan bantuan aparat. 

Hasilnya, lumayan ajaib! Tak lebih tiga hari, makam Kyai Sobri sepi peziarah. Selabaran-selabaran itu memang tetap di makam, meskipun ada sebagian berubah posisi. Apakah para peziarah telah insyaf? Apakah tulisan lebih kuat menyadarkan mereka ketimbang lisan? Aku bersyukur kepada Allah sambil mengucurkan air mata. 

Sebuah tepukan membuatku kemudian tersentak.

"Oh, Bapak!" ucapku sambil tersenyum. Mat Amin telah berada di depanku dengan wajah lesu. "Akhirnya orang-orang sadar telah berbuat salah ya, Pak!"

Mat Amin mengeluh. "Aku kasihan kepada mendiang Kyai Sobri. Sekarang makamnya sepi. Orang-orang memilih pergi ke makam Kyai Yasin. Katanya doa di sana lebih makbul daripada di makam Kyai Sobri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun