Hatiku panas. Ingin kuusir saja para peziarah itu. Tapi bagaimana caranya? Sebelumnya Raudah dan ibunya sudah berulangkali menyarankan kepada para pentolan jamaah mendiang Kyai Sobri agar menyetop perbuatan musryik itu.Â
Ternyata mereka tak mau menurut. Bagi mereka, dengan ramainya penziarah, ramai pula penghasilan buat orang-orang setempat. Coba, sekarang banyak yang nyambi berjualan panganan kecil di situ, bahkan nasi bungkus. Belum lagi para penjual bunga, pengemis musiman.Â
"Bukankah ini perbuatan yang melanggar aturan agama?" Aku tersenyum. Seseorang itu melotot. Dia menjauhiku, dan menghilang entah ke mana.Â
Bererapa saat kemudian, Â muncul lagi bersama tiga orang lelaki. Salah seorang kukenal; Mat Alim, lelaki berkumis dan berjenggut putih. Sejak aku diangkat Kyai Sobri sebagai anak, Mat Alim seolah memusuhiku terus. Entah kenapa. Mungkin karena cara berpikir kami berseberangan.Â
"Apalagi tujuanmu ke mari, Khail? Kau bilang berziarah itu melanggar aturan agama? Kami sangat menghargai mendiang Kyai Sobri, hingga makamnya pun kami kunjungi. Lagi pula ini lumrah!" Sengaja Mat Amin memperbesar suaranya. Beberapa peziarah melihat kepada kami. Pertama cuma melihat. Lalu mendekat. Lalu ikut berkomentar.
Aku dengan tegas mengatakan tak melarang menziarahi kubur sekadar mendoakan ahli kubur, dan menjadi pengingat mati bagi peziarah. Tapi kalau sampai dibuat seperti tempat bertuah, bahkan meminta berkah dari ahli kubur, apa boleh? Kusitir beberapa hadits shahih, hingga membuat wajah Mat Amin memerah. Dia ahli agama juga, sama seperti aku. Aku yakin dia tahu hukum. Cuma, mungkin atas hasutan setan, dia malah mencak-mencak.Â
Katanya banyak yang diuntungkan dengan adanya makam Kyai Sobri. Tak hanya bagi peziarah, juga warga setempat. Termasuk tentu saja pejabat pemerintah yang mendapat dana setoran, atau katakanlah retribusi untuk urusan ziarah-menziarah itu.
Aku terdesak. Peziarah menyalahkanku. Mat Amin malahan mengancam akan memanggil polisi karena aku dianggap pengacau. Untuk itu aku memilih angkat kaki.
Berhari, berminggu, berbulan aku tinggal di kota itu, tetap saja tak bisa menyadarkan para peziarah agar kembali ke jalan yang benar. Sering kusentil mereka, para pentolan yang mempertahankan tradisi mengada-ada itu ketika aku menjadi khatib shalat Jum'at, atau saat didaulat menjadi penceramaah acara keagamaan. Ketimbang sadar, mereka malahan menebarkan hasutan kepada beberapa pihak supaya tak pernah lagi mengundang atau mendaulatku sebagai khatib atau penceramah. Aku dikatakan orang yang beraliran sesat. Memiliki pandangan Islam yang menyimpang. Tak menghargai mendiang Kyai Sobri sebagai tokoh ulama yang dihormati dari hidup sampai mati.
Pernah sekali aku nekad berbuat frontal dengan memasang  plang di ambang masuk makam Kyai Sobri tentang larangan berziarah ala musyrik. Hasilnya aku harus berurusan dengan pejabat pemerintah dan pihak keamanan.
* * *