Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Makam Kyai Sobri

27 April 2019   13:16 Diperbarui: 27 April 2019   20:40 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Bergegas kukemas pakaian. Seseorang di telepon yang mengatakan Kyai Sobri sakit keras, adalah kata penghalus kalau dia sebenarnya sudah menemui Yang Kuasa. Pesawat pertama dari Surabaya langsung memberangkatkanku ke kota itu. Tak terasa air mata ini mengambang. Telah setahun kami hanya bersapa via telepon. Tugas-tugas di pesantren, kemudian harus beberapa kali ke luar negeri, membuat niatku bersua wajah dengan Kyai Sobri selalu terkendala.

Raudah menyambutku di gerbang rumah setiba di kota itu. Puluhan orang bertangisan di halaman. Tak salah lagi, Kyai Sobri sudah meninggal. Aku limbung, tapi mencoba menguatkan badan. 

"Sakit apa Bapak?" tanyaku kepada Raudah, usai pemakaman yang dihadiri ratusan pelayat.

"Tak sakit apa-apa, Mas. Dia hanya mengeluh lesu, kemudian tiduran. Ketika saya bangunkan untuk shalat isya, tahunya Bapak sudah meninggal." 

Aku menatap angkasa. Gelap menggelayut. Masih terbayang bagaimana ributnya pelayat beberapa jam lalu sebelum pemakaman Kyai Sobri. Pelayat yang rata-rata jamaah Kyai Sobri, bersikukuh menguburkan jasadnya di lokasi pemakaman terpilih, dekat mendiang orang-orang terhormat di daerah kami. Tapi aku berpendapat lebih baik dia dimakamkan di pemakaman umum saja. Aku takut, makam Kyai Sobri akan sama dengan makam-makam mendiang orang terhormat itu. Makam-makam mereka terlalu mewah; dikeramik dan memiliki atap seperti rumah.

"Apa hak anda melarang Kyai Sobri dimakamkan di sini?" Terngiang pertanyaan lelaki berkumis dan berjenggot putih itu kepadaku. 

"Saya tak melarang. Cuma memberi saran, Pak," jawabku lembut.

"Ah, urusan apa? Kau tak ada pertalian darah dengannya."

Raudah, sebagai putri tunggal Kyai Sobri, tak bisa menyokong pendapatku. Mungkin karena umurnya masih belia. Dan bisa jadi karena dia perempuan. Sementara ibu Raudah tak banyak cakap. Dia masih dirundung sedih. Dia membiarkan saja kehendak orang-orang tentang pemakaman suaminya.

* * *

Apa yang kutakutkan, namun perlahan kutepis, akhirnya terjadi juga. Sepuluh bulan setelah Kyai Sobri meninggal, aku menerima telepon dari Raudah. Katanya makam Kyai Sobri telah dikeramik dan diberi atap atas desakan dan dana jamaah. Aku mengakui itu akan terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun