Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kucing Garong

24 April 2019   08:05 Diperbarui: 24 April 2019   08:09 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika ibu mengingatkanku agar waspada terhadap kucing garong yang sekonyong masuk ke dalam rumah, aku menanggapinya biasa-biasa saja. Mungkin di lingkungan rumah baruku itu banyak kucing garong yang senang mencuri ikan. Maklum, aku dan istri telah memisahkan diri dari orangtuaku. Dari rumah mereka yang berada di kompleks perumahan mewah, kami pindah ke rumah kontrakan kecil berkamar dua di bilangan pinggiran kota. Katakanlah daerah kumuh. Tentu rata-rata orang memiliki kucing. Selain untuk teman bermain, hewan jinak dan lucu itu berguna menakut-nakuti tikus. 

Ya, ya. Kami memang tak ingin terus-terusan menggelendot di ketiak orangtua. Cukup lama sudah membuat mereka terbebani (bila mereka benar-benar merasa terbebani). Hampir sepuluh tahun! Hingga anak kami yang pertama dan satu-satunya sudah sekolah kelas dua esde. 

Malu? Ya, sudah terang! Keterlaluan, dalam waktu yang sedemikian lama, kami masih betah tinggal di rumah orangtua! Apa kata tetangga? Karena sayang orangtua? Omong-kosong! Setiap anak yang sudah menikah, harus terbang serupa burung merpati mencari penghidupannya sendiri. 

Melihat aku menanggapi ucapannya biasa-biasa saja, ibu menarik tanganku. Dia berbicara nyaris berbisik. "Maksudku, waspada kalau tiba-tiba ada lelaki lain masuk ke rumahmu. Faham, kan?" lanjut ibu sambil  manyun. Aku tertawa dalam hati. Ada-ada saja tabiat orangtua seumuran ibu. Cemasnya tak ketulungan! Mana mungkin Irene, istriku, yang kupacari lima tahun, plus mengarungi biduk bernama keluarga bersamaku selama sepuluh tahun, sanggup menerima lelaki yang bukan diriku di rumah kami sendiri. Betapa keterlaluan! Apa gunanya hubungan kami yang langgeng sampai limabelas tahun? Masa yang tidak cukup pendek, bukan?

Aku telah mengenal istri luar-dalam. Aku tahu dia perempuan setia. 

Jujur, aku memang lelaki yang jarang di rumah. Jarang di sini, bukan berarti aku senang dengan kehidupan di luaran. Tidak, sama sekali tidak! Pekerjaanlah yang menuntutku berbuat demikian. 

Aku bekerja di perusahaan kontraktor yang katakanlah memiliki lokasi proyek di pedalaman. Hidupku lebih lama di lokasi kerja ketimbang di rumah. Tiga minggu di sana, seminggu di rumah. Ya, ya. Hanya saja aku memahami ketakutan ibu. Dulu, selama aku sering keluar kota, anak-istriku memang berada di bawah pengawasan ibu dan ayah. Pastilah tak ada yang neko-neko dan mengkhawatirkan terjadi pada mereka. Masalah orang ketiga---kata ibu kucing garong---pun mustahil. Apa mungkin ada lelaki yang berani bertandang ke rumah orangtuaku kalau tujuannya demi merebut hati seorang Irene? Irene benar-benar berhati dingin-beku. Dia hanya menyerahkan hati itu kepadaku, sang kekasih yang ditunggunya selama berbilang malam dengan doa-doa keselamatan. Itu yang sering dikatakannya kepadaku ketika kami berdua di atas peraduan sambil menikmati saksefon Kenny G yang menyeruak dari tape berdouble subwoofer.

"Kau dengar kata ibu?" Dia kelihatan kurang senang. Kucium punggung tangan ibu. Kalau tak buru-buru memutus perbincangan dengannya, bisa-bisa telingaku pekak dan hatiku risau. Belum lagi harus terlambat, lalu ditinggal bus yang menuju ke lokasi proyek tempatku bekerja. Pagi tadi Sam, sopir kantor, meneleponku. Dia bilang mobil kantor rusak berat, sedang berdandan, jadi dia menyarankan agar aku naik bus saja. 

Irene keluar dari dalam kamar sambil mengangsurkan tas jinjing. Dia mewanti-wanti supaya hati-hati di jalan. Jangan lupa mengawasi tas jinjing itu kalau-kalau diintip orang. Waspada terhadap labtob yang kusandang. Aku meyakinkannya bahwa benda "selingkuhanku" itu tak mungkin kutelantarkan, Obat-obatan, jaga kesehatan, jangan lupa bertelepon ketika sedang berkunjung ke ibukota kabupaten daerah pedalaman itu. Bla...bla...bla.... Dia nyaris mirip ibu, suka mengoceh. Persis lokomotif kereta api. Kesal? Ya, tentu saja. Kenapa sih perempuan senang mengoceh? Apakah sudah takdir mereka demikian? Begitupun, apa yang mereka katakan adalah demi kebaikanku sendiri.

"Ingat kucing garong, Ni! Ibu pulang nanti sore!" teriak ibu saat aku dan Irene berada di teras rumah. Irene mengernyit. Dia tak faham kata-kata ibu. Syakwasangkanya, pasti itu sindiran terhadap dirinya. Dan itu harus kumaklumi. Irene dan ibu memang kurang kompak usai kami pindahan rumah. Menurut perempuan yang susah-payah melahirkan dan membesarkanku itu, acara pindah rumah terjadi hanyalah ide Irene. Menurut ibu, Irene tak betah lagi dijadikan mirip babu di rumah mereka. Padahal bukan seperti itu kenyataannya. Sebetulnya bukan istriku yang ngebet pindah rumah, melainkan aku. Istriku malahan  ragu apakah aku sanggup membiayai seluruh kebutuhan mereka anak-beranak. Selama tinggal di rumah ayah-ibu saja aku keteter, konon lagi setelah memisahkan diri.

"Tapi aku ingin mandiri dan lepas dari tatapan orang-orang yang seperti mengejek. Apa gunanya berumahtangga bila tetap mendekam di rumah orangtua! Itu sama saja masih bujangan! Masih berharap belas-kasih mereka yang telah menyadap keringat untuk membesarkanku sampai dewasa. Dewasa bersikap dan berpikir. Bukankah aku juga harus dewasa masalah keluargaku? Itulah, aku sangat ingin tinggal di rumah milik  diri sendiri, mengatur keluarga sesuai hati nuraniku." Hal tersebut kuucapkan kepada Irene hampir sepuluh hari sebelum kami pindah rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun