Aku menggaruk-garuk kepala yang seketika terasa gatal. "Ah, tak apa-apa, Pak Haji!"
"Kau bingung kenapa Piyan menyerahkan surat tanah itu kepadaku agar di tempat ini dibangun masjid?" Haji Maulud seakan fasih menebak isi kepalaku. Tentu saja meski ragu-ragu, aku mengangguk juga. Haji Maulud mengatakan, Mas Piyan merasa dikejar-kejar terus oleh mendiang Ayah dalam mimpi-mimpinya. Bahkan ketika kondisi terjaga, seolah Mas Piyan tetap dimatai-matai. Untungnya setelah surat tanah berpindah tangan ke tangan Haji Maulud, Mas Piyan kembali merasa tenang seperti sediakala.
"Mau ke mana?" Haji Maulud bertanya saat melihatku kembali akan mengayuh sepeda.
"Mau ke rumah menemui Mas Piyan, Pak Haji!"
"Dia sedang mengambil uang sumbangan pembangunan masjid ini di rumah Pak Camat."
Aku melongo. Aku masih merasa tak percaya betapa sifat Mas Piyan berubah seratus delapan puluh derajat.
---sekian---
*Pertama kali terbit di Republika, 26 Februari 2012.