Darahku mendidih. Tubuhku gemetar. Terasa sekali pandanganku berkunang-kunang. Andaikan aku tengah berdiri, kemungkinan besar tinjuku langsung melayang ke wajah lelaki itu. Kali ini aku memang tengah duduk menunggu azan maghrib, dan sudah mengambil air wudhuk. Percuma aku meladeninya sekarang, kalau akhirnya wudhukku bakalan batal. Lagi pula maghrib-maghrib tak baik mengumbar amarah. Kuelus dada, mencoba menurunkan tensi darah.
Selepas shalat maghrib dan makan alakadarnya, aku kembali menemui lelaki yang membuatku sangat emosi itu.Â
Dia Piyan. Biasa kupanggil Mas Piyan. Kami saudara seayah-seibu. Dia sulung dalam keluarga kami. Sementara aku bungsu. Tapi kelakuannya dari masa muda hingga sekarang, tetap seperti anak-anak. Tak berubah-ubah. Tabiatnya selalu membuat pening seluruh keluarga.Â
Setelah Ayah meninggal dunia sembilan bulan lalu, semakin bertingkahlah dia. Itulah makanya aku memilih pindah ke rumah kontrakan sekitar enam kilometer dari rumah mendiang Ayah.
"Maksud Mas apa sebenarnya?" Aku mencoba berbicara lebih lembut. Secangkir teh yang dihidangkan istriku, belum disentuhnya. "Apa tak sebaiknya Mas shalat maghrib dulu, baru kita perbincangkan masalah ini? Atau sekalian makan malam. Jadilah berlauk tahu-tempe, Mas!" Sekarang, praktis emosiku normal kembali.
"Aku tak mau basa-basi lagi, Mirdin! Kemarikan surat tanah itu!" Dia mendengus. Dia berdiri dan berjalan mondar-mandir.Â
"Ayah telah menitipkannya kepadaku, Mas. Wasiat Ayah, surat tanah itu harus kuserahkan kepada Haji Maulud setelah setahun Ayah meninggal dunia. Apakah Mas Piyan tak ingat wasiatnya? Mas kan ikut menjagai Ayah menjelang sakaratul maut!"
Mas Piyan mendengus lagi. Bosan mondar-mandir, dia duduk sambil memelototiku.Â
"Aku perlu sekali surat tanah itu, Mirdin! Aku akan menjualnya kepada Juragan Saud. Kelak uangnya sebagai biaya bisnisku di Jakarta." Dia memukul pahanya sendiri. "Kau sih sudah enak. Sudah menikah dan tinggal di rumah kontrakan. Kalau aku, apa? Menikah saja belum. Tinggal tetap di rumah orangtua. Di bawah ketiak Ibu!"
Mas Piyan sudah lama kasuk-kasuk ingin merebut surat tanah itu dariku. Bahkan sebelum genap empat puluh hari meninggalnya Ayah. Kali ini mungkin kesabaran Mas Piyan sudah mencapai puncaknya.Â
Aku tahu, bukan niat ke Jakarta yang memaksanya ingin menjual tanah itu. Dia hanya terlilit hutang karena terlalu sering berjudi di lapau-lapau yang memang ramai di kampung kami. Belum lagi demi memenuhi selera mabuknya, butuh uang berbuntal-buntal. Kedatangannya ke rumahku menjelang maghrib, pun hidungku membaui tuak yang sangat kentara.