"Kita tak bisa berbicara lagi, Bu. Kita hanya berhak diam. Karena kita orang kere yang tiada mampu membeli hak sendiri. Tiada mampu menentukan kenyamanan hidup. Ya, nasib orang miskin selalu begini. Selalu terpinggirkan," gerutuku sambil menghirup kopi perlahan.
Istriku terdiam. Dia kembali ke dapur melanjutkan kesibukannya. Sedangkan aku masih termenung memperhatikan hujan yang bertambah deras. Genangan air di depan rumah bertambah tinggi. Lalu semakin tinggi pula teriakan anak-anak dengan penuh keriangan.
***
Hujan tak hendak berhenti. Kolam dadakan di halaman depan semakin tinggi dan mulai memasuki rumah. Beberapa perabotan sudah dinaikkan ke atas meja. Sebagian lainnya terbiar di lantai, sehingga basah-kuyup. Kedua anak kami tak seceria tadi. Mereka sudah menggigil dengan bibir setengah biru. Pandangan mereka nanap manakala melihat seragam sekolah masih basah.Â
"Yah, besok terpaksa libur lagi, Pak!" keluh mereka kesal. Aku pura-pura tak mendengar. Segera kuperas pakain seragam yang basah itu. Kujemurkan di atas lemari.
"Itulah, kalian kerjanya main melulu. Kalau hujan turun, tinggallah di dalam rumah. Kalian tahu kan rumah selalu kebanjiran setiap hujan turun."
Mereka terdiam. Mereka ikut membantu merapikan pakaian yang basah. Hujan bertambah deras. Air yang masuk ke dalam rumah semakin besar. Dari semata kaki, berubah selutut. Kemudian sepaha, sepusat!
"Banjir! Banjir! Banjir!" teriakan itu akhirnya mengakhiri perjuangan kami menyelamatkan harta benda dari genangan air. Kami bergegas menyelamatkan diri bersama para tetangga. Tujuannya hanya satu, mencari tempat lebih tinggi.Â
"Kita gedung itu!" teriak Pak RT. Kami bergegas ke sana. Tapi akhirnya terhalang oleh barikade satpam.
"Kami mau menyelamatkan diri dari banjir!" Pak RT ngotot.
"Tidak bisa! Tidak bisa!" Mereka balas membentak.