Kubanting koran perlahan ke atas meja. "Alah, seperti rapat dewan saja kau ini! Rapat di kedai kopi saja memakai agenda segala. Padahal kalian di sana kan hanya mengobrol ngalor-ngidul saja. Dasar pekerjaan pengangguran! Lagipula, untuk apa memusingkan kakus umum itu? Mau dibangun seribu unit atau dibumihanguskan sekalipun, aku tidak mau ambil pusing. Seumur-umur setelah mengontrak di bedeng ini, belum sekali pun aku ke tempat najis itu. Makanya hidup ini harus memiliki kantor. Bekerjalah di perkantoran yang memiliki kakus mewah yang melebihi keindahan kamar tidurmu. Contohlah aku!" Aku tertawa.Â
"Ah, ngomong sama kau tak ada hasilnya. Dasar sombong! Belagu! Tunggu saja suatu saat kau amat membutuhkan kakus umum itu. Aku ingin melihat apa reaksimu, Panu!"
Mana mungin aku akan membutuhkan kakus jorok itu, batinku tertawa. Dia hanyalah tempat untuk orang-orang udik dan pengangguran sekelas Mamat, Robai atau yang lainnya. Dan perlu diketahui, tujuanku mengontrak di bedeng ini bukanlah untuk mengirit dana dari gajiku yang kempes. Melainkan karena ada faktor lain. Anak pemilik bedeng itulah penyebabnya. Ya, anak perempuannya yang bahenol serta memiliki pancaran mata yang genit minta ampun.
* * *
Permasalahan kakus umum semakin heboh saja. Bahkan sempat memasuki agenda rapat RT. Sementara aku hanya memandangnya sebelah mata. Kakus umum kok selalu dianggap penting. Padahal dia hanyalah tempat pembuangan kotoran manusia. Tempat hina dan nista yang harus dijauhi. Apalagi olehku yang notabene seorang staff sebuah perkantoran.
Tapi malam ini---setelah meneraktir perempuan anak pemilik bedeng semangkuk-dua sate padang ekstra pedas---tiba-tiba perutku mules tujuh keliling. Sialan, perutku memang teramat rentan dengan makanan yang pedas-pedas. Tapi berhubung sedang makan bersama perempuan yang kuidamkan, aku berusaha manut dengan seleranya yang maniak itu.
Bergegas kubunuh rasa benciku terhadap kakus umum. Sebab mustahil aku harus berlari ke kakus kantor hanya sekedar membuang hajat. Selain kantor sudah tutup malam-malam begini, pasti aku akan berak di jalan karena jarak dari bedeng ke kantor hampir sepuluh kilometer. Begitu pula bukanlah pilihan terbaik berlari ke kakus mall. Aku tentu harus mengeluarkan kocek seribu rupiah, hanya untuk meminjam kakusnya seperempat jam. Malam-malam begini tak ada yang gratis. Karena penjaga kakus di mall bukan lagi tentanggaku. Tugasnya sudah digantikan pekerja shiff malam.
Namun alangkah mengkalnya hati. Manakala berdiri di depan kakus umum, aku mesti berdiri di antrean nomor delapan. Jadi, aku harus bersiap-siap mengantongi delapan butir batu sebagai jimat untuk berjaga-jaga agar berakku tidak membrojol duluan.
"Ah, kenapa pula kakus di bedeng ini cuma satu? Kenapa bukan dua, tiga atau sepuluh sekalian!" gerutuku. "Lagipula, orang di kakus itu sudah mendekam terlalu lama. Bom apa yang dikeluarkannya, sih!"
Orang di depanku menoleh kesal. "Panghuni bedeng baru, ya? Di sini harus sabar mengantre. Karena kakus umumnya cuma satu!" ketusnya.
Aku menggerutu sambil memegangi perut yang menggejolak. Teringat aku perkumpulan kaum penganggur di kedai Subangun. Ah, aku harus ikut rapat bersama mereka besok malam. Aku mengusulkan seribu kakus umum harus dibangun demi kenyamanan bedeng.