"Ya!"
"Apakah dia suami yang kering oleh kasih-sayang?" lanjutnya. Lelaki berwajah hitam legam itu membuatku sedikit jengkel. Terlalu jauh dia mencoba mengobrak-abrik isi hatiku.
"Ya, dia kering. Gersang!"
"Seperti hutan ini?"
"Pasti!"
Kami tak lagi banyak berbincang. Pertemuan demi pertemuan berikutnya, membuat keakraban  kami bertambah kental. Dia semakin berani bertanya, bahkan memegang tubuhku sekali-sekali. Aku membiarkannya. Merelakan diri ini terbawa arus. Dia lain. Bagaikan hutan asing dan dilingkup misteri.Â
Seketika pula pohon-pohon, bebinatang, bersemi---beranak pinak. Hutan seperti kembali dalam keteduhannya. Kebasahan yang mengalirkan air dari batang-batang aur, timbunan lumut dan daun-daun lembab. Aku pun merasa menyatu dipeluk si sopir. Menyatu pohon-pohon. Menyatu bebinatang. Menyatu pada cahaya temaram matahari yang menyuntik di sebalik dedaun yang mengatap hutan.
"Kau merindukan suamimu?" Dia bertanya. Wajahnya hitam berkeringat. Bau lelaki liar  menggenangi kasur. Kuingat Haldy. Kutepis bayang-bayang keloyoannya. Dia tak gagah. Dia tempe!
"Aku lebih merindukan pohon!" jawabku.
"Kau ingin menyatu dengan hutan?" lanjutnya.
Aku duduk. Memeluk dua belah lututku. "Aku akan menjadi pohon. Akan menikahi pohon." Kupeluk lengannya yang berulir otot.Â