Pohon-pohon memagar setiap kesetiaan. Menjadi akar, kuat mencengkeram. Sekarang poranda.
Setelah lelah aku menulis setiap daun, ranting, cabang, batang dan dahan. Setelah puas menjelma aroma hutan, angin dan burung-burung. Setelah lelah menjelma mata air, dari batang-batang aur yang daunnya lancip mencabik langit, mengalir berkelok serupa ular kecil, melalui buluh-buluh, dan rebah di telaga.
* * *
"Kau pulang, May?" sapa Haldy tanpa menoleh dari bukunya. Bahkan sama sekali bergeming kendati aku meletakkan tas ransel dengan bunyi berdebuk. Gelas diangkatnya menuju mulut. Sesuatu di dalamnya menjalari lidah, leher dan bersemayam di perutnya. Ah, sebuah kenikmatan yang menikam hati! Mengoyak jiwaku, betapa tak berartinya seorang May ketimbang buku dan isi di gelas itu.
Tak perduli terhadap luluh-lantak tulang-belulangku setelah perjalanan jauh menumpang jeep melalui hutan lindung yang terjal.Â
"Kau tak bergerak sejak tadi, Haldy?"Â
Dia baru menoleh. Matanya yang elang dan dulu selalu membuat es di hatiku mencair, menyelidik. Tapi sungguh tak mampu membuatku jengah. Hatiku malahan mengganas, ingin melumatnya menjadi debu.
Hubunganku dengan Haldy memang tak lagi seindah dulu, sebelum aku memutuskan pindah ke hutan lindung ini. Dia kesal karena harus berpisah dari kota besar yang menciptakan keliaran. Tentang canda-tawa dan kebohongan di ruang kafe, atau malam-malam di bawah lampu kelap-kelip diskotik. Plus seloki-dua minuman beralkohol. Perempuan-perempuan penggoda mengenakan rok mini dan berbaju tipis melenggang di catwalk. Bangsat! Itu yang membuatku selalu cemburu.
Dan kini dia benar-benar gila dengan kekhusyukannya. Berjejal bersama mimpi-mimpi lewat buku. Lewat gelas-gelas berisi kopi, coklat, atau minuman keras. Karena dia memang tak mencintai hutan serta pepohonnya. Dia membenci reramai binatang yang menggalah langit. Sementara aku telah bosan menjadi polisi hutan yang hanya duduk di belakang meja komputer nun di kota nan liar. Bukankan polisi hutan harus tinggal dan melindungi hutan?Â
Bukan di kota besar yang dipenuhi orang-orang bebal dan alpa terhadap alam. Apalagi setelah berita pemalakan hutan lindung yang menjerat mataku dari berita demi berita di televisi dan koran. Kuputuskan mutasi ke hutan lindung, tempat masa kecilku damai dipagar pepohon. Tempat mendiang ayah yang polisi hutan, membuatku bermimpi berprofesi sama dengannya; menjadi polisi hutan.
"Apa yang kau harap dariku selain menjamur di sini? Oh, Tuhan. Tempat yang menjemukan! Tak kau ingat pesta-pesta. Jalan-jalan ke mall. Atau berpelesir ke Bali misalnya. Malaysia, Singapura. Sidney? Cuh! Kau hanya dihantui lembar demi lembar hantu di hutan ini. Apa yang kau cari, May? Alam? Atau sekedar menukil cerita masa kecilmu yang telah usang?"