"Masih!" jawabku. Ikram menyorongkan mug ke hadapanku. Aku bagaikan melihat magma di kepundan gunung berapi. Bagaimana mungkin aku sanggup menikmati minuman itu? Sekam-sekam bisa sangat tajam menjalari kerongkongan. Kalau tiba-tiba sekam menggumpal di pangkal kerongkongan, aku bisa mati!
Seolah tahu dengan arah pikirku, Ikram mengatakan tak akan ada masalah yang berarti bila aku meminum seluruh hidangan di mug. Dia telah memantra-mantrainya, agar tak menimbulkan masalah bagiku. "Bila tak yakin, lebih baik kamu mundur!" Ikrman menyudutkanku.
Aku mengangguk yakin. Isi mug itu memasuki mulutku. Bergerombol menyentuh pangkal kerongkongan. Terasa sekali sekam padi menjalar. Aku merasa akan tersedak. Tapi Ikram memberi penangkal, secangkir air putih demi melancarkan ramuan itu mencapai lambungku.Â
Begitulah sedikit demi sedikit ramuan kunikmati dengan sangat terpaksa. Baru dua pertiga yang mengisi lambung ini, aku hampir muntah. Ikram mengatakan, jadilah. Kemudian dia merapikan seluruh perangkat ritual itu. Dia memberikanku secarik kertas berisi mantra-mantra yang harus kubaca lima ratus kali hingga shubuh. Setelah itu dia pamit.
Tinggal aku sendirian di kamar. Penghuni mess kebetulan pulang ke kampung masing-masing. Aku merinding. Secarik kertas berisi mantra itu, semakin membuatku merinding. Aku membacanya sebaris. Suasana ruangan langsung terasa dingin. Apakah ini hanya perasaanku saja? Kubaca dua baris, tiba-tiba seperti ada yang menggoyang-goyang tirai jendela. Ah, mungkin angin yang mengempas-hempas dari luar sana. Hujan toh bertambah deras. Baris ketiga, tiba-tiba perasaanku tak enak.Â
Baris pertama dan kedua memang mantra yang diambil dari kalimat di Al Qur'an. Baris ketiga berubah menjadi mantra berbahasa Jawa. Demikian pula baris keempat hingga tujuh. Lagi pula kata-kata yang tercantum di situ bagaikan aku meminta perlindungan kepada makhluk lain. Bukan kepada Allah SWT. Apakah itu bukan perbuatan syirik?
Aku teringat ayah-emak yang telah memberiku pendidikan agama sejak kecil. Bagaimana mungkin setelah dewasa dan bekerja di sebuah perusahaan, tiba-tiba aku menghancurkan jerih-payah mereka demi menghamba kepada bangsa jin? Ya, Allah betapa maksiatnya diri ini.
Kuputuskan membakar secarik kertas berisi mantra-mantra itu. Aku melupakan seluruh kejadian yang membuatku hampir menjadi musyrik. Sementara besoknya, Ikram langsung memutuskan hubungan persahabatan kami. Dia mengetahui hatiku telah membelot.
Enam tahun berselang, dan aku sudah menikah, kenangan itu tak lagi membekas di benakku. Hanya saja, entah karena ritual aneh itu, sejak aku memutuskan kembali menjadi hamba Allah yang setia, kepalaku sering pening. Kuminumkan saja obat pereda pening, dan berhasil sembuh. Hanya saja dua atau tiga hari kemudian, kambuh lagi. Begitulah terus menerus. Hingga ketika setahun menikah, istriku mengajakku bertemu seorang pintar. Dia ingin mengetahui apa penyebab aku sering pening.
Dan betapa malunya diri ini. Aku tak sanggup menatap mata istriku. Si orang pintar mengatakan bahwa rasa pening yang kurasakan berkala itu, mutlak karena aku pernah mempelajari ilmu hitam. Ilmu yang hanya setengah jadi kujalani, akhirnya menjadi bumerang buat diriku sendiri. Ilmu hitam itulah yang tersangkut di dada sebelah kiriku, sehingga sering membuatku pening. Sarannya aku harus shalat tobat dan membaca Al Qur'an secara rutin. Mudah-mudahan Allah SWT memaafkan perbuatanku yang nista.
Saat itu istriku hanya bisa berkata,Â