Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena Kami Bukan Peramal, Nyalakanlah Lampu Sein

31 Maret 2019   22:13 Diperbarui: 31 Maret 2019   22:47 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali ketika saya menjadi pengguna (baca ; pengendara) jalan, nyaris celaka ketika bersinggungan dengan pengguna jalan lainnya. Saya memang sudah meneliti kesehatan motor, surat menyurat, bahkan pelengkap keselamatan, mulai dari spion, lampu lampu, hingga menggunakan helm sampai terdengar bunyi "klik".  Tapi, karena ini melibatkan orang lain, maka saya tak dapat memastikan akan selamat selama perjalanan.

Berawal dari kejadian tadi pagi, saya hampir menabrak mobil yang sekonyong menerabas belok di depan saya, hingga "the power of emak emak" yang keranjingan menyalakan lampu sein motor sebelah kiri, tapi tiba tiba berbelok ke sebelah kanan.

Oleh sebab itu, saya memutuskan bahwa lampu seinlah yang paling utama sebagai bukti keramahtamahan berlalulintas. 

Kecil memang lampu sein itu, hanya memiliki andil besar terciptanya kecelakaan yang tak jarang berujung kematian. Jadi, nyalakan lampu sein dan bijaklah mempergunakannya.

Ada tiga hal perlakuan orang terhadap lampu sein. Saya mulai dari yang paling rendah membuat celaka.

Pertama, lampu sein rusak. Hal ini memang sering terjadi. Sebab waktu yang mepet, membuat seseorang itu mengendarai kendaraan yang tak lengkap keselamatan. Biasanya, orang seperti ini mengganti lampu sein dengan tanda tangan melambai sesuai ke arah mana dia mau berbelok. Bisa juga bukan dengan melambaikan tangan, tapi dengan mimik tubuh atau pergerakan kendaraan.

Kondisi rusak lampu sein ini agak jarang membuat celaka. Berbeda bila yang rusak itu truck kapasitas 8 ton atau di atasnya, maka kecenderungan blind spot akan semakin besar bagi pengendara di belakang. Alih-alih stop, pengendara lain malahan menyalip dari kanan, yang berujung senggolan atau tabrakan.

Kedua, malas menyalakan lampu sein. Celaka akan lebih besar pada tingkatan ini. Karena pengendara yang malas menyalakan lampu sein cenderung tak ada mimik sama sekali akan berbelok. Bahkan terkadang berbelok seenaknya seperti yang saya alami. Di mana sebuah mobil yang berlawanan arah dengan saya, sekonyong berbelok dan menyeberang di depan saya. Bagaimana kalau rem saya tak pakem. Apa jadinya kalau motor saya mempergunakan rem tromol? Dapat dibayangkan kejadian selanjutnya.

Ketiga, kerajinan menyalakan lampu sein. Hal ini yang bisa menyebabkan kans kecelakaan itu paling besar. Seringkali ini dilakukan "the power of emak emak". Kalau tidak lampu sein kendaraan sebelah kanan yang menyala, maka sebelah kiri. Lucunya, ini bisa memberikakan jebakan "batman". Lampu sein yang menyala sebelah kiri, tiba tiba si ibu berbelok ke kanan . Begitu pula sebaliknya.

Maka kita harus bijak menyikapinya. Bila bertemu dengan pengendara seperti ini, upayakan berada pada jarak aman di belakang. Atau, dengan keputusan matang, usahakan menyalipnya, sehingga akan sama sama selamat.

Fenomena ini sering terjadi, tapi kita menganggap sepele. Kita tak.pernah berpikir bahwa mereka pendahulu bersusah payah memikirkan dan membiayai pembuatan lampu sein agar pengendara bisa selamat.

Sebab mereka yakin pengendara bukan peramal dan tak mungkin pula selama di jalan bebicara dengan penendara lain,  "Maaf, Bapak/Ibu, saya mau berbelok ke kanan." Oleh sebab itu, nyalakanlah lampu sein dengan bijak, karena kami bukan peramal.

o0o0o0o

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun