Dikisahkan seorang perempuan berwajah cantik tinggal di kampung itu. Perempuan yang rambutnya bergelung jilbab. Tangan dan lehernya bergelung emas melingkar.Â
Dia seorang janda. Tepatnya janda kaya dengan bebarapa hektar sawah dan kebun karet. Juga memiliki lapak di pasar yang buka sekali seminggu.
Seharusnya dia menjadi incaran orang---terutama lelaki. Mungkin karena cantik, terlebih dia janda kaya. Tapi tak seorang pun yang betah berlama-lama dengannya . Mulutnya serupa pedang---kata orang-orang nyinyir.
Dia memang suka berderma sebagai bukti bahwa dia kaya. Tapi mulutnya itu lho, suka mengungkit-ungkit pemberian! Bahkan ketika orang yang diberi derma masih di depannya, si perempuan tak jarang menyakitkan telinga dan hati.
"Sebenarnya aku malas bersedekah kepadamu. Badan gagah begini, harusnya bisa bekerja mencari nafkah!" katanya ketus.
Atau di hari lain dia menggibah dengan orang yang enggan mendengar gibahnya, "Aduh, Mbak Yu, kalau bukan karena aku, mungkin Bu Fatimah sudah meninggal. Akulah yang membiayainya berobat ke rumah sakit." Atau, "Sombong sekali si Farid sekarang, mentang-mentang sudah PNS. Padahal dulu semasa kuliah sering kupinjami uang buat biaya kuliahnya"
Belum lagi urusan membantu-bantu tetangga, dia selalu ogah. Makanya kalau tak perlu betul, orang enggan ke rumahnya. Berpapasan saja, mereka berusaha menghindar. Beberapa malahan mendoakan supaya dia mendapat karma dari Allah.
"Kau jangan ikut-ikutan mengatai Bu Romlah, Bu!" Pak Tukijan menasihati istrinya. Sang istri yang sedang menonton tivi, hanya melenguh. "Tak baik menggibah orang. Biarkan saja Bu Romlah dengan tingkah lakunya. Yang penting kita tak seperti dia. Lagi pula apa dia pernah membuat kita celaka?"
***
Hari itu Pak Murodan mengalami kecelakaan saat meyadap nira di hutan sebelah. Meskipun dengan hati berat, keluarga Pak Murodan mendatangi rumah Bu Romlah. Rumah yang seangkuh pemiliknya terlihat sepi. Tapi keluarga Murodan tetap mengetok-ngetok pintu gerbang besi dengan batu sambil meneriakkan salam.
"Panas-panas begini mengganggu orang saja. Ada apa?" Bu Romlah akhirnya keluar rumah. Gelang emasnya bergemirincing seiring langkahnya yang tergesa.Â
"Ini, Bu, mau minjam mobil. Pak Murodan kecelakaan."
"Tak bisa minjam mobil orang lain, ya? Kan saya bukan satu-satunya orang kaya di kampung ini?" Bu Romlah berkacak pinggang. Keluarga Pak Murodan membisu dan saling tatap. "Baiklah, kali ini saya bantu. Ambil mobilnya di garasi!"
Keluarga Pak Murodan mengucapkan terima kasih banyak. Ketika mereka mengembalikan mobil itu, Bu Romlah mencak-mencak. Dia meributkan lantai mobil yang berlepotan darah. Bannya yang berlumpur. Bensin yang berkurang banyak. Mursid, mewakili keluarga Pak Murodan bersedia menganti rugi untuk cuci mobil, juga menambah bensin yang berkurang itu.
"Untuk apa aku menerima uang lusuhmu, Mursid? Sudah, aku berbaik hati kepada keluarga kalian. Â Lain kali kalau perlu apa-apa, minta kepada orang dulu, baru kepada saya." Â Begitu tajam ucapan Bu Romlah. Mursid hanya mengelus dada. Ingin dia melabrak perempuan itu. Sebagai orang yang biasa main di pasar, emosi Mursid tak stabil. Kali ini dia menahan amarah hingga wajahnya merah padam.
Orang-orang semakin benci kepada Bu Romlah. Tak hanya di pasar, warung, di pangkal tangga rumah, mereka selalu membincangkan Bu Romlah. Mereka tahu membincangkan kejelekan orang itu dosa. Tapi siapa yang tahan mendengar mulut perempuan yang nyinyir itu? Bahkan sekali waktu, Bu Safitri yang berniat meminjam uang untuk berobat anaknya, ikutan sakit karena terkejut mendapat dampratan dari si mulut nyinyir.
Orang kampung kemudian menganggap Bu Romlah sebagai makhluk asing. Tak ada yang mau meminta tolong kepadanya, juga tak ada mau yang menolongnya. Ketika hendak menyerahkan zakat fitrah di masjid, petugas penerima zakat fitrah menolak langsung. Bu Romlah pitam. Mulutnya bertambah runcing dan nyinyir. Petugas itu seolah tak mendengar, mengangap perempuan itu angin lalu saja.
Puncaknya ketika rumah Bu Romlah kebakaran, orang hanya membiarkannya rata dengan tanah. Ketika hektaran sawahnya diserang hama wereng, mereka pura-pura tak melihat. Begitupun saat puting beliung memorak-morandakan lapak Bu Romlah di pasar, seolah orang kampung adalah sekumpulan patung.
Saat ini bila kau berkunjung ke kampung itu, akan kau jumpai perempuan gila yang selalu berbicara sendiri. Sesekali dia membentak kepada pohon-pohonan, atau tanaman di halaman rumah maupun semak belukar. Aneh sekali, pohon-pohon yang dibentak, sering daun-daunnya langsung berguguran. Tanaman dan semak belukar bernasib sama, setelah dibentak hari ini, besoknya batangnya layu dan daunnya berlobang. Beberapa hari kemudian akan mati.Â
"Dia Bu Romlah si mulut nyinyir. Saking nyinyirnya, dia membentak tanaman saja bisa mati. Pantaslah banyak dulu orang yang sakit hati kepada lakunya. Tapi bila kau amati lamat-lamat, ketika dia membentak tumbuhan, seperti ada ratusan ulat beterbangan dari mulutnya, menuju daun-daun dan memamahnya." Mungkin itu jawaban orang ketika kau bertanya tentang perempuan itu.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H