Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Bermulut Nyinyir

30 Maret 2019   13:01 Diperbarui: 30 Maret 2019   13:12 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

"Ini, Bu, mau minjam mobil. Pak Murodan kecelakaan."

"Tak bisa minjam mobil orang lain, ya? Kan saya bukan satu-satunya orang kaya di kampung ini?" Bu Romlah berkacak pinggang. Keluarga Pak Murodan membisu dan saling tatap. "Baiklah, kali ini saya bantu. Ambil mobilnya di garasi!"

Keluarga Pak Murodan mengucapkan terima kasih banyak. Ketika mereka mengembalikan mobil itu, Bu Romlah mencak-mencak. Dia meributkan lantai mobil yang berlepotan darah. Bannya yang berlumpur. Bensin yang berkurang banyak. Mursid, mewakili keluarga Pak Murodan bersedia menganti rugi untuk cuci mobil, juga menambah bensin yang berkurang itu.

"Untuk apa aku menerima uang lusuhmu, Mursid? Sudah, aku berbaik hati kepada keluarga kalian.  Lain kali kalau perlu apa-apa, minta kepada orang dulu, baru kepada saya."  Begitu tajam ucapan Bu Romlah. Mursid hanya mengelus dada. Ingin dia melabrak perempuan itu. Sebagai orang yang biasa main di pasar, emosi Mursid tak stabil. Kali ini dia menahan amarah hingga wajahnya merah padam.

Orang-orang semakin benci kepada Bu Romlah. Tak hanya di pasar, warung, di pangkal tangga rumah, mereka selalu membincangkan Bu Romlah. Mereka tahu membincangkan kejelekan orang itu dosa. Tapi siapa yang tahan mendengar mulut perempuan yang nyinyir itu? Bahkan sekali waktu, Bu Safitri yang berniat meminjam uang untuk berobat anaknya, ikutan sakit karena terkejut mendapat dampratan dari si mulut nyinyir.

Orang kampung kemudian menganggap Bu Romlah sebagai makhluk asing. Tak ada yang mau meminta tolong kepadanya, juga tak ada mau yang menolongnya. Ketika hendak menyerahkan zakat fitrah di masjid, petugas penerima zakat fitrah menolak langsung. Bu Romlah pitam. Mulutnya bertambah runcing dan nyinyir. Petugas itu seolah tak mendengar, mengangap perempuan itu angin lalu saja.

Puncaknya ketika rumah Bu Romlah kebakaran, orang hanya membiarkannya rata dengan tanah. Ketika hektaran sawahnya diserang hama wereng, mereka pura-pura tak melihat. Begitupun saat puting beliung memorak-morandakan lapak Bu Romlah di pasar, seolah orang kampung adalah sekumpulan patung.

Saat ini bila kau berkunjung ke kampung itu, akan kau jumpai perempuan gila yang selalu berbicara sendiri. Sesekali dia membentak kepada pohon-pohonan, atau tanaman di halaman rumah maupun semak belukar. Aneh sekali, pohon-pohon yang dibentak, sering daun-daunnya langsung berguguran. Tanaman dan semak belukar bernasib sama, setelah dibentak hari ini, besoknya batangnya layu dan daunnya berlobang. Beberapa hari kemudian akan mati. 

"Dia Bu Romlah si mulut nyinyir. Saking nyinyirnya, dia membentak tanaman saja bisa mati. Pantaslah banyak dulu orang yang sakit hati kepada lakunya. Tapi bila kau amati lamat-lamat, ketika dia membentak tumbuhan, seperti ada ratusan ulat beterbangan dari mulutnya, menuju daun-daun dan memamahnya." Mungkin itu jawaban orang ketika kau bertanya tentang perempuan itu.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun