Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Bermulut Nyinyir

30 Maret 2019   13:01 Diperbarui: 30 Maret 2019   13:12 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Dikisahkan seorang perempuan berwajah cantik tinggal di kampung itu. Perempuan yang rambutnya bergelung jilbab. Tangan dan lehernya bergelung emas melingkar. 

Dia seorang janda. Tepatnya janda kaya dengan bebarapa hektar sawah dan kebun karet. Juga memiliki lapak di pasar yang buka sekali seminggu.

Seharusnya dia menjadi incaran orang---terutama lelaki. Mungkin karena cantik, terlebih dia janda kaya. Tapi tak seorang pun yang betah berlama-lama dengannya . Mulutnya serupa pedang---kata orang-orang nyinyir.

Dia memang suka berderma sebagai bukti bahwa dia kaya. Tapi mulutnya itu lho, suka mengungkit-ungkit pemberian! Bahkan ketika orang yang diberi derma masih di depannya, si perempuan tak jarang menyakitkan telinga dan hati.

"Sebenarnya aku malas bersedekah kepadamu. Badan gagah begini, harusnya bisa bekerja mencari nafkah!" katanya ketus.

Atau di hari lain dia menggibah dengan orang yang enggan mendengar gibahnya, "Aduh, Mbak Yu, kalau bukan karena aku, mungkin Bu Fatimah sudah meninggal. Akulah yang membiayainya berobat ke rumah sakit." Atau, "Sombong sekali si Farid sekarang, mentang-mentang sudah PNS. Padahal dulu semasa kuliah sering kupinjami uang buat biaya kuliahnya"

Belum lagi urusan membantu-bantu tetangga, dia selalu ogah. Makanya kalau tak perlu betul, orang enggan ke rumahnya. Berpapasan saja, mereka berusaha menghindar. Beberapa malahan mendoakan supaya dia mendapat karma dari Allah.

"Kau jangan ikut-ikutan mengatai Bu Romlah, Bu!" Pak Tukijan menasihati istrinya. Sang istri yang sedang menonton tivi, hanya melenguh. "Tak baik menggibah orang. Biarkan saja Bu Romlah dengan tingkah lakunya. Yang penting kita tak seperti dia. Lagi pula apa dia pernah membuat kita celaka?"

***

Hari itu Pak Murodan mengalami kecelakaan saat meyadap nira di hutan sebelah. Meskipun dengan hati berat, keluarga Pak Murodan mendatangi rumah Bu Romlah. Rumah yang seangkuh pemiliknya terlihat sepi. Tapi keluarga Murodan tetap mengetok-ngetok pintu gerbang besi dengan batu sambil meneriakkan salam.

"Panas-panas begini mengganggu orang saja. Ada apa?" Bu Romlah akhirnya keluar rumah. Gelang emasnya bergemirincing seiring langkahnya yang tergesa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun