"Kenapa kau menertawakan kitab ini?"
"Aku tak menertawakan Qur'an yang kau bawa. Aku hanya menertawakan dirimu. Tumben kau bawa yang begituan. Mau ceramah? Setahuku, kau pelukis, dan sambilan menjadi penulis kaligrafi." Aku mesem-mesem. Tanpa dipersilakan, dia duduk di sofa. Mencomot sepotong pisang goreng dan mengunyahnya pelan. Menyeruput kopi seolah itu miliknya. Tapi aku diam saja. Dia selalu begitu ketika bertamu ke rumah orang. Apa yang terhidang di meja, baginya adalah hak tamu. Entah itu punya siapa, dia tak peduli. Menurutnya setiap ada tamu, wajib dihidangkan sesuatu, kendati sebiji kurma. Dan seperti itu pula lakunya ketika aku bertamu ke rumahnya. Dia tahan tak makan apa-apa, asal aku bisa bertamu tanpa lapar. Dia juga tak peduli dengan menyediakan hidangan itu, dia kehilangan duit. Bagi lelaki itu, tamu adalah raja.Â
"Siapapun yang membawa kebaikan kepadamu, jangan pernah melihat orangnya. Tapi kebaikan apa yang dia bawa, lalu kau lakukan." Dia terdiam. "Kau selalu berceloteh tentang agama, juga dalam tulisan-tulisanmu. Tapi apakah kau ingat siapa yang memberimu mulut? Siapa yang memberimu kecakapan menulis?"
"Aku selalu shalat wajib untuk mengingat Allah, meskipun tak selamanya tepat waktu." Kuseruput kopi yang baru saja diminum lelaki itu.
"Tapi kau lupa sesuatu yang akan menghiburmu. Sesuatu yang bisa menyembuhkan sakitmu, di badan atau di hati. Sesuatu yang bisa menambahkan imajiansimu, hingga karya-karyamu tetap mentereng menghiasi media. Ini adalah penghibur terbaik. Bacalah!" Dia meletakkan Qur'an di atas meja, lalu pamit. Pintu ditutupnya rapat.Â
Kutatap Qur'an itu. Ada desir kebenaran yang tertinggal dari kata-kata lelaki itu. Selama ini aku selalu menghibur diri dengan beragam acara di televisi. Tak hanya berbilang menit, bahkan berbilang jam. Yang tentu saja melenakanku untuk bekerja mengolah tubuh, mencari duit. Begitu berpindah ke layar komputer, pun aku terlena dengan media sosial. Seperti kebanyakan orang kantoran, aku lebih sering berkutat di media sosial ketimbang menyelesaikan pekerjaan sebagai tugas utama.
Meski masih ragu, aku menuruti kata-kata lelaki itu. Sehari demi sehari, tertatih kubaca kalam Ilahi. Dan entah kekuatan dari mana, hilang sudah sifat pelupaku. Semangat sudah tubuh rentaku.
Sepuluh pekan, aku kembali merasa menjadi muda lagi. Tulisanku mulai mengalir deras, dan kerap dimuat media. Pekerjaan menukang rumah, kembali menjadi pekerjaan utama. Karena itu aku mengunjungi lelaki itu untuk mengabarkan berita gembira ini. Tapi aku tertegun, rumahnya kosong dan berdebu.Â
"Mas Latif sudah sebulan pergi." Seorang perempuan menemuiku.
"Pergi ke mana?"
"Pergi belajar dan mengajar agama ke negeri jauh."