Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tua

24 Maret 2019   13:33 Diperbarui: 24 Maret 2019   13:51 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu, penyakit encok tiba-tiba menggerus tulang dan seluruh persendianku. Lalu, penyakit lain menyusul tanpa sengaja diketahui setelah berobat encok ke puskesmas. Kata bidan, selain encok, aku mengidap penyakit darah tinggi. Itu artinya aku menjadi tua melampaui usia yang masih berada di seputaran kepala lima. 

Aku lungkrah. Tak hanya badan, juga ide-ide cerita yang sebelumnya berkelindan di kepala. Dan tambahan terbaru, aku menjadi pelupa. Untung saja untuk persoalan minum obat, istriku perhatian sekali. Kalau tidak aku bisa sekarat dan mati, sebab over dosis obat. Sudah minum obat, tiba-tiba aku minum obat lagi karena lupa.

* * *

Lelaki itu mengerjap-ngerjapkan mata. Sepertinya dia ingin tertawa mendengar keluh-kesahku. "Semua orang yang mulai tua akan mengalami hal sepertimu, Mardan!" Dia mengambil kuas, kemudian melanjutkan lukisannya. 

"Pikun maksudmu?"

"Dan sakit-sakitan!" Dia akhirnya tertawa. "Tapi bila kau menikmatinya, semua akan berjalan baik-baik saja."

Aku menghela napas. Kuceritakan semua yang mengganjal hatiku selama ini. Mula-mula dia masih tersenyum. Lama-lama dia menatapku serius. Dia meletakkan kuas, menggeser kursi, menghadap ke arahku. Ujung kretek dia tekan ke dalam asbak. "Sepertinya kau perlu berobat," katanya.

"Mungkin kau benar Dokter mana menurutmu yang paling bagus?" Aku bersemangat sambil memegang keras lengannya. Saat dia meringis, aku kembali lesu. Berurusan dengan dokter, sama saja berurusan dengan uang. Berurusan dengan uang, sama saja berurusan dengan dompet. Sekarang hanya ada uang lima ribu di dompetku.

"Tak perlu ke dokter. Yang perlu diobati itu adalah ini!" Dia menunjuk dadaku. "Dan ini!" Dia menunjuk kepalaku.

* * *

Aku tertawa ketika lelaki itu bertamu ke rumahku sambil membawa Qur'an. Setahuku, dia orang yang sering keluar-masuk masjid. Tapi bukan untuk beribadah. Selain tangannya lihay melukis, tangan itu pula yang membuatnya ditaksir marbot, dan marbot mengenalkannya kepada bos kontraktor. Dia jago kaligrafi. Tak hanya tempat ibadah di daerahku, tapi di daerah tetangga, sering memakai jasa lelaki itu. Meskipun, sebenarnya dia sangat malas berbincang agama. Otaknya dipenuhi segala yang masuk akal, dan kurang begitu peduli terhadap hal-hal ghaib. Pun dia malas berdebat masalah agama. Karena agama itu menurut dia ada di hati untuk di rasa, ada di kepala untuk dicerna. Bukan berada di mulut hanya sebagai bual-bualan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun