Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puji Si Kelapa Hijau

22 Maret 2019   09:00 Diperbarui: 22 Maret 2019   09:54 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Di pinggir hulu sebuah sungai, tumbuhlah sebatang pohon kelapa hijau berdaun lebat. Dia sering menangis karena belum pernah berbuah seumur hidupnya. Hingga di suatu masa, dia berhenti menangis. Ternyata dia bisa berbuah, meskipun hanya satu. Buah kelapa itu diberi nama Puji. 

"Sudah sampai masanya, kau harus turun ke tanah. Kau harus tumbuh besar seperti ibu, Puji," kata kelapa hijau kepada Puji.

Puji menangis. Dia tak mau berpisah dengan ibunya. "Aku tetap ingin menempel dengan ibu. Aku tak mau turun ke tanah. Aku tak ingin menjadi pohon kelapa." 

Pada suatu pagi, turunlah hujan yang sangat lebat. Angin bertiup kencang. Tiba-tiba terdengar suara  keras seperti pohon tumbang. Ternyata kelapa hijau yang tumbang ditiup angin kencang itu. Puji lepas dari ibunya dan menggelinding menuju sungai. Dia hanyut menuju hilir. 

Beberapa hari lamanya, Puji tersangkut di antara dua buah batu besar. Maka timbullah rasa sesalnya, kenapa dulu tak menuruti perintah ibunya. Sekarang dia akan membusuk di tengah sungai. Dia selamanya tak bisa menggantikan ibunya menjadi pohon kelapa berdaun lebat dan gagah.

"Hei, itu ada buah kelapa! Tampaknya dia mulai bertunas'" teriak seseorang beberapa hari kemudian. "Sebagian buah kelapa ini sudah membusuk. Tapi, tak apalah. Mudah-mudahan dia masih bisa tumbuh." Orang itu mengangkat Puji. Dia membawanya menuju perkampungan.  Dia menanam Puji di belakang rumah kecil beratap ijuk.

Betapa senangnya hati Puji. Dia berjanji agar tetap sehat, lalu tumbuh besar. Dia akan berbuah lebat agar orang yang menolongnya  di sungai itu bisa bahagia. Berbilang bulan kemudian, dia tumbuh pesat. Berulangkali Pak Min, orang yang menolongnya itu, memuji-mujinya. 

Beberapa tahun lamanya, Puji tumbuh sebesar ibunya. Tapi dia merasa sedih karena belum bisa berbuah. Orang-orang yang melintas di dekatnya sering berkata, "Wah, pohon kelapa ini sangat besar dan kokoh. Tapi, kenapa sampai sekarang belum berbuah, ya?"

Pak Min yang mendengar orang-orang itu berbicara demikian, akhirnya menjawab, "Umur pohon kelapa ini baru enam tahun. Tunggu saja usianya genap delapan tahun, mudah-mudahan dia akan berbuah lebat. Bukankah begitu, hai pohon kelapa?" Pak Min menepuk-nepuk batang Puji. 

Setelah berusia delapan tahun, Puji berbuah. Pak Min dan beberapa warga kampung merasa suka cita. Puji berbeda dari kelapa lain, karena dia kelapa hijau yang dipercaya sebagai obat. Sebagian buah Puji dijadikan obat. Sebagian pula dijadikan bibit. Hingga beberapa tahun berlalu, anak-anak Puji tumbuh subur di kampung yang kemudian lebih sering disebut kampung kelapa hijau.

"Nenek pasti senang melihat kita tumbuh subur di sini," kata anak Puji.

"Iya, sayangnya nenekmu tumbang dan mati. Kalau saja dia masih hidup, tentu... Ah, sudahlah!" Puji tak mau bersedih lagi.

Sementara jauh di hulu sungai, ibu Puji ternyata masih hidup.  Dia selalu tersenyum bangga mendengar kabar yang di bawa burung tentang Puji dan kampung kelapa hijau itu.

-sekian-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun