Menurut kuncen, setiap Kamis malam, Kailani selalu menerima wahyu. Dia menyatatnya dalam buku rahasia yang disimpan entah di mana. Masih menurut kuncen, dari buku itulah Kailani menyingkap penyakit para pasien, kemudian memberikan obatnya. Beberapa orang yang sangat memujanya, bahkan berkali-kali datang setelah sembuh dari penyakit mereka. Sebagian meminta kekebalan. Sebagian ingin menghamba, misalnya sampai tega meminum air bekas Kailani mencuci tangan. Bahkan seorang dua bila bertamu, sangat merendahkan diri mereka, yakni mencium telapak kaki lelaki itu.
Sekali lagi, sebenarnya aku berpantangan ke rumah Kailani. Aku juga sudah berpuas diri mengingatkan ibu tentang perbuatan musyriknya mempercayai lelaki itu. Juga tentang orang-orang di kampung yang kelak dilaknat Allah. Percuma ibu dan yang lainnya shalat lima waktu setiap hari, berpuasa di bulan Ramadhan, bertadarus, menjalankan hal-hal yang sunnah, bila mereka masih berbuat musyrik. Ibaratnya mereka beribadat kepada Allah seperti menciptakan kemarau setahun. Tapi kepercayaan mereka terhadap Kailani, bagaikan hujan sehari yang melenyapkan kekuatan kemarau yang setahun itu.
"Dia memang hebat!" Begitu kata ibu kepadaku semalam.
"Hanya Allah yang hebat!" jawabku.
"Tapi banyak pasien sembuh diobatinya."
"Hanya kebetulan."
"Kau harus mencobanya juga."
"Tidak!"
"Apa kau ingin mati?"
Aku terdiam. Aku tak sanggup menolak kehendak ibu agar aku berobat kepada Kailani. Di bawah dua belah ketiakku ada dua benjolan  sebesar ujung jempol tangan orang dewasa. Menurut ayah temanku yang berprofesi sebagai dokter penyakit dalam, benjolan itu adalah tumor jinak. Dia menyarankan agar dibuang saja. Lebih tegasnya dioperasi.
Aku membicarakan kepada ibu tentang saran dokter itu. Ibu mengatakan bahwa penyakitku hanyalah guna-guna orang. Ada yang mendendam kepada keluarga kami. Karena dari tahun ke tahun, sawah-ladang kami selalu sukses panen.Â