* * *
Ternyata berbilang siang, aku tak melihat Sukiat. Berbilang malam, sunyi senyap penggaduh di sebelah. Berbulan madu ke manakah gerangan dua sejoli itu? Awalnya aku bersyukur karena istriku tak lagi uring-uringan. Namun kalau akhirnya begini---mereka seperti lesap ditelan bumi--- jelas saja aku menjadi cemas. Apa mungkin mereka mendapat masalah, misalnya digaruk aparat?
Hingga di suatu senja aku sedemikian terperangah ketika bertemu Sukiat di terminal bis. Dia kelihatan mentereng dengan baju putih lengan panjang, dan celana jins biru tua. Rambutnya disisir klimis.
"Ah, Mas! Kebetulan kita bertemu di sini. Besok minggu datang ya ke acara pernikahanku. Ini undangannya. Di situ ada peta lokasinya."
"Lho, kau dan Elena mau pesta, ya? Wah, kau banyak duit juga, ya! Apa Elena orang kaya?" Aku menyikut rusuknya. Yang disikut malah terkikik. Dia kemudian menyerahkan sebuah kaset tape kepadaku. Katanya untuk kenang-kenangan.
"Maaf, Mas. Belakangan ini aku menghilang. Ke depan, mungkin kita tak lagi bertetangga. Datang ke acaraku ya, Mas!" Sukiat melambai. "Dan maaf, Mas. Aku mau menikah dengan Sukesih, bukan Elena!" Dia sigap melompat ke dalam bis yang melaju pelan.
Aku termangu-mangu. Kemudian tertawa lebar. Kaset tape pemberiannya langsung kubawa pulang ke rumah. Aku penasaran apa isinya, atau mungkin irama dangdut. Sambil menikmati kopi tanpa ditemani istri, aku memutar kaset itu.
"Elena, Elena! Apakah kau masih di situ?" Aku mendelik. "Wah, ada sate kambing, susu kambing ettawa, telur ayam kampung! Wow, martabak! Wow, gulai ayam! Oh, Ughh, Oh, Ughh, oh...." Buru-buru kumatikan tape.
"Sukiaaat! Sontoloyo!" Aku menggebrak meja. Istriku tertawa bukan buatan. Dikibuli kok senang!
---sekian---
EINA