Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Sukiat

19 Maret 2019   08:34 Diperbarui: 19 Maret 2019   08:40 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa perkara cinta-cintaan?" Aku mengejeknya. Sukiat tersipu. "Dalam kamus orang seperti kita tak ada yang namanya cinta-cintaan. Pacaran lama-laman. Ngabiskan duit, Yat! Kalau sudah kenal, cocok, jadilah ke penghulu. Cinta itu datang belakangan!"

Mungkin karena bukan aku saja yang menerornya dengan kata-kata menikah---termasuk oleh istriku, Mang Birin, Bos Uncen, Si Pulading---entah kenapa di suatu senja yang ranum, Sukiat menemuiku dengan wajah tak kalah ranum. Kebetulan senja itu aku sedang habis dikeroki istri. Masuk angin! Jadi, kedatangan Sukiat kutanggapi biasa-biasa saja.

"Aku sudah menikah, Mas!" katanya. Sontak aku terperangah. Kemudian terkekeh sambil menepuk-nepuk pundaknya.

"Bagus! Baguslah!" Hanya itu tanggapanku. Kami di permukiman kumuh, sangat jarang ingin mengetahui pribadi orang sampai ke-njelimet sekalian. Kami lebih fokus memikirkan bagaimana caranya agar tetap dapat hidup. Masalah Sukiat menikah, toh tak hebat-hebat amat. Semua orang memang wajib menikah. Itu hal yang wajar. Jadi, nasi bungkus yang diberikan Sukiat kepadaku dan istri, sudah menjadi pengabar bahwa dia benar-benar menikah. Dan begitu saja bless, kami melupakan pernikahan Sukiat. Melupakan bagaimana rupa istrinya. Siapa namanya. Anak siapa. Dari kampung mana. Aku dan istri hanya tahu nama istri Sukiat adalah Elena. Aku dan istri hanya tahu mereka sering gaduh di tengah malam buta, seperti layaknya pasangan yang sedang bulan madu. 

"Jadi, kau tak senang Sukiat menikah?" tanyaku kepada istri. Malam ini tak ada suara gaduh di gubuk Sukiat. Entah ke mana dia dan istrinya terbang. Mungkin berpelesir ke tempat lain.

"Bukan tak senang, Pak. Tapi kok sepertinya malam-malam mereka lebih seru dari kita." Aku melihat kerut di keningnya. Dia sedang iri, mungkin.

"Ya, namanya sedang bulan madu, Bu. Di mana-mana kondisinya sama. Lha, kita, bulan madu apa? Kita sudah menikah hampir lima belas tahun, Bu!"

"Itulah yang aku takutkan, Pak. Siapa tahu mereka tokcer!" Dia seperti menyindir. 

Aku terdiam. Bukan buatan usaha yang kami lakukan sejak menikah dulu. Dari mendatangi dukun sampai petugas medis. Minum ramuan nenek moyang hingga obat kimia. Toh Tuhan belum memberi kami amanah berupa anak. Wajar saja istriku cemas bila Sukiat dan istrinya tokcer. Wajar juga kemudian aku ikut cemas.

"Sabar saja, Bu! Mungkin nanti Tuhan berbaik hati memberi kita anak."

"Bukan itu saja! Sejak menikah, kehidupan Sukiat kelihatan tambah makmur. Adalah sate kambing di rumahnya, susu kambing ettawa, telur ayam kampung. Lha, kita..." Kembali dia menyindir. Hatiku menjadi sedikit panas kepada Sukiat. Harusnya dulu aku tak menerornya agar cepat menikah kalau tahu begini hasil akhirnya. Ya, cuma aku bersyukur malam ini Sukiat dan istrinya belum pulang. Jadi tidur kami, maksudku istriku, lebih nyaman tanpa suara-suara gaduh membuat iri dari gubuk sebelah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun