Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cium] Sam, Aku Takut

16 Maret 2019   20:42 Diperbarui: 16 Maret 2019   21:59 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua tiba-tiba gelap. Tak ada cahaya. Mantra-mantra seolah badik-badik. Tajam. Menghunjam liang telinga. Kumohon, bantu aku. Napasku larat. Hidupku sekarat. "Tolooong!" Tiba-tiba seseorang memelukku erat. Mendekap membuat megap. Tubuhku diguncang-guncang.

"Ayo, Manis! Bangunlah! Kenapa kau mengigau." 

Aku membuka mata, mengerjap-ngerjap, menghalau cahaya suam yang mengintip dari jendela kaca. Hmm, jam berapa sekarang? Aku duduk sambil memeluk kedua belah lutut. Dia masih berusaha memelukku. Mata elang itu, duh...seakan aku tikus kecil yang siapa dimangsa. Tapi sampai kapan?

Aku hanya perempuan simpanan, seumpama tabungan, hanya diambil ketika butuh. Hanya butuh? Apakah cuma Sam yang punya hak butuh? Aku tidak sama sekali. Aku hanya bisa menyerahkan. Sama sekali pantang meminta. Aku ingin memiliki Sam seutuhnya.

"Kau mimpi apa, Manis? Sampai keringatan begini."

Aku mencari-cari sendal dengan ujung jempol kaki. Berjalan menuju lemari pakaian. Sebuah kaos bertuliskan "mata lu" pilihan pertama. Celana training berikutnya. Mata Sam seolah menjalar di leherku. Tiba-tiba aku risih. Aku tersenyum geli menuju kamar mandi. Sam mendengus, memukul kasur dengan kesal.

Perlahan aku menanggalkan pakaian. Menelisik setiap lekuk tubuh. Seolah setiap inci telah disentuh Sam. Aku merasa gerah. Apakah aku hanya barang yang hanya bisa dimiliki, tapi tak bisa memiliki? Setelah menyerahkan amplop dan mengecup keningku, bleees... Sam seakan hujan menimpa kemarau puluhan minggu. Lesap begitu saja. Menyisakan bau menyadap kenangan.

"Cita-citamu ingin menjadi apa?" Terngiang pertanyaan bunda belasan tahun lalu. 

"Ingin menjadi wanita cantik." Aku tertawa.

"Cita-cita kok lucu. Harusnya ingin menjadi guru, dokter, dosen, pokoknya yang bermartabat."

Apakah cantik.itu lebih dekat dengan tidak bermartabat? Padahal untuk menjadi cantik itu butuh pengorbanan yang amat sangat berat.  Diet ketat, meskipun aku ada uang berlebih sekadar setiap hari bersantap makanan terenak di kota ini. Aku harus lebih sering meringis karena dipaksa berjalan oleh sepatu berhak tinggi. Harus anggun, menyamai pesona angsa. Perut mesti ditekan atau disangga oleh benda, apa itu namanya; korset. Cantik itu memang anugerah. Hanya, menjadi cantik itu luka. Tidak nyaman sama sekali. 

Dengan cantik itu aku menjadi pelototan setiap pria. Dengan cantik itu aku mudah mendapat hidup nyaman hanya bersenjatakan ucapan; hay, yang genit. Tapi, aku tak berdaya di depan si mata elang. Aku tak hanya menginginkan harta dan hatinya, juga raganya yang macho. Kapankah itu?

Dari sela pintu, aku mendengar Sam berbicara, "Ya! Papa sedang di luar kota. Mungkin nanti sore pulang. Masih banyak pekerjaan."

Aku keluar dari kamar mandi. Sam meletakkan ponsel di ujung dipan. "Dari siapa?" tanyaku.

"Boy!" Dia menyebut sebaris nama anak bungsunya. "Cuma, sekarang aku rada bingung. Kau ke kamar mandi, mau ganti pakaian atau ganti kulit." Dia tertawa sambil menepok jidat. Tersipu malu, aku kembali ke dalam kamar mandi. Terkadang ada rasa risih dilihat Sam tanpa sehelai benang pun. Padahal sudah berulangkali matanya melahap tubuhku.

"Sudahlah! Tak usah ragu pada tubuhmu. Tak ada yang kurang. Hanya ada yang berlebih di bagian pipi. Mulai tembem."

Semprul! Aku baru sadar seminggu ini melanggar diet karena hampir setiap menjelang tidur malam,  aku mengakhirinya dengan makakan yang berat.

"Aku takut kehilanganmu," kataku setelah rebahan di sebelah Sam. "Apakah kau tak berniat menikahiku?" Mata Sam yang teduh, menjelma terik. Aku terbakar panasnya.

"Bukankah yang sekarang  sudah lumayan?  Kalau kurang uang, ngomong saja."

"Uang tak bisa menghadirkanmu ketika aku butuh. Jadikan aku istri keduamu. Aku senang, kau tenang. Kau tak usah kucing-kucingan dengan orang rumah."

Tetiba dia mengecup keningku. Terburu dia bersalin pakaian sehingga terlihat elegan. Dia baru ingat ada pekerjaan di kantor pusat yang amat penting harus diselesaikan. Ponselku mendadak berbunyi. Ada nama Mas Ang tertera di layar. Katanya, hari ini jadwal pemotretan. Terburu aku bersalin pakaian. Masalah Sam biarlah diurus nanti saja.

Sam mencium pipiku. Dia melaju di dalam sedan hitam metalik. Sebuah taksi melintas, buru-buru mengangkut tubuhku. Ah, Sam, aku tiba-tiba sangat merindukanmu. Aku takut kehilangan dirimu.

---sekian---

Silahkan dilanjut...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun