Pucuk-pucuk pohon karet berkilau diterpa terik sinar matahari. Angin panas menyapu-nyapu perkampungan, persawahan juga ladang-ladang di pinggang bukit. Kampung Saoto sesiang ini masih tidur. Bukan lantaran bermalas-malasan, melainkan  sakit hati  kepada alam yang tak bersahabat.
Hama wereng menyerang separuh persawahan penduduk. Babi hutan mengamuk, meluluhlantakkan nyaris seluruh ladang. Coba, siapa yang tak sakit hati? Padahal penduduk merasa telah ramah kepada alam. Tak lepas-lepasnya mereka memanjatkan doa kesejahteraan kepada Sang Pencipta. Sayang, nasib peruntungan belum memihak. Mereka seolah dihukum untuk dosa yang tak pernah dilakukan.
Bayang-bayang paceklik mulai memayungi mata mereka. Kemarau panjang akan memperparah panen tahun ini. Apa lagi yang harus dijual demi menebus bahan pangan?
Penduduk merasa kalah. Beberapa hanya mampu duduk di halaman rumahnya sambil berkeluh-kesah. Beberapa lainnya memenuhi lapau-lapau dengan wajah kusut masai. Berbeda dengan kanak-kanak, tak paham risau yang menyulut hati orangtua mereka. Permainan tetap seru. Musim layangan seperti diletuskan. Persawahan dipenuhi kaki-kaki telanjang. Jangan kata kalau dulu sawah-sawah itu menghijau. Kanak-kanak pastilah dilarang ke sana. Sekarang, terbiarlah! Padi-padi tak menghasilkan lagi.Â
"Apalagi kutukan yang menimpa kita ini, Mak!" Pak Kurlian mengeluh di seberang istrinya. Sambil duduk di kursi dengan mengangkat sebelah kaki kiri, matanya menyipit. Wangi kopi membuar dari cangkir besar di depannya. "Panen bakalan gagal. Bagaimana caranya kita melamar Saimah untuk anak kita? Makan saja susah, apalagi sekadar mengumpulkan mahar."
"Tuhan telah marah kepada kita!" geram istrinya. Perempuan itu tertunduk-tunduk memilih menir di atas tampah berisi beras. Setelah menir ditaruh dalam kaleng bekas susu, dia mengempas-hempaskan tampah seolah menghantam angin.
"Marah kenapa?" Pak Kurlian menyeruput kopinya. Kening lelaki itu langsung mengeriput karena rasa kopi terlalu pahit.
"Karena janda kembang itu!"
"Janda kembang? Maksudmu si Leha?" Pak Kurlian membayangkan perempuan berbodi singset dan kerlingnya yang menggoda.
"Siapa lagi!"
Leha belum genap setahun tinggal di Kampung Saoto. Sebelumnya dia tinggal di kota besar. Tapi setelah suaminya meninggal dunia karena diserempet mobil, dia pindah ke Kampung Saoto dengan membawa dua orang anaknya. Mungkin kemunculan Leha-lah pemicu bencana yang menimpa persawahan dan ladang penduduk.Â
Sejak kehadiran Leha, yang kemudian membuka warung pecel di dekat balai desa, kontan beberapa lelaki kampung menjadi doyan pecel. Menjadi doyan nongkrong di warung pecel. Seharusnya toh, mereka nongkrong di lapau-lapau kopi. Warung pecel biasanya dirubung perempuan sambil ngerumpi. Tapi yang namanya wangi kembang, tak ke mana. Hidung kumbang sangatlah tajamnya, tergoda sekuntum kembang.
Ada tercatat empat lelaki beristri yang mengalami pertengkaran dalam rumahtangganya lantaran Leha. Sebut saja, Mudin. Lelaki bertubuh jangkung itu, setiap kali matahari mulai terbit, selalu muncul di halaman balai desa. Entah apa yang dia lakukan di situ. Warung pecel Leha saja belum buka. Tapi setelah Leha datang dengan barang bawaan lumayan berat, tahulah kita tujuan Mudin. Dia pura-pura sibuk membantu. Pura-pura menggoda anak-anak Leha. Bahkan kalau Leha ketinggalan sesuatu di rumahnya, Mudin dengan sangat senang membantu mengambilkannya.Â
Mudin sampai lupa bekerja. Sampai lupa makan siang. Sas-sus busuk yang kemudian berseliweran dari mulut ke mulut kaum perempuan, membuat istri Mudin panas hati. Dia memarahi Mudin habis-habisan. Dia mengancam akan meminta cerai jika Mudin tetap penggatal. Akhirnya Mudin tak kunjung lagi terlihat di warung pecel Leha. Kendati sekali-sekali, dia diam-diam menemui Leha di pasar kecamatan. Katanya sekadar ingin membantu apa-apa yang bisa dibantu.Â
Nasib penggatal Rohim lebih parah dari yang dialami Mudin. Selain karena bosan melihatnya menganggur terus, kegilaannya kepada Leha membuat istri Rohim ngamuk serupa banteng yang terluka. Sifat penggatal Rohim dijadikan sang istri sebagai pemicu meminta cerai. Sekarang Rohim luntang-lantung karena istrinya minggat dari rumah. Tapi kondisi demikian semakin memudahkan Rohim melihat Leha sepuas hati.
Asan dan Ribang, lain lagi. Puas diomeli istri, mereka dipaksa memburuh di ibukota kecamatan. Biarlah memburuh, ketimbang sakit hati melihat tabiat mereka yang keranjingan sosok Leha. Walaupun dua penggatal itu masih menggatal di ibukota kecamatan, toh tak terlihat di mata, tak terbetik di telinga.
Kasihan Leha. Bukanlah dia janda penggoda. Dia hanya menjalani hidup sesuai kemampuannya. Memangnya salah menjanda itu? Kalau dia berjualan pecel, apa itu salah? Kalau dia ramah kepada pembeli, itu kan keharusan! Bagaimana mungkin jualannya bisa laku kalau bibirnya terlipat terus. Manyun! Apa ada orang yang betah membeli dagangannya jika ditegur saja membisu? Berhias dan rapi pun keharusan dalam berdagang. Orang yang jorok apalagi bau, konon akan ditinggalkan pembeli. Orangnya saja jorok dan bau, apalagi barang dagangannya.
* * *
Apa yang diucapkan istri Pak Kurlian tentang si janda Leha, Â dibincangkan pula oleh rata-rata perempuan di kampung itu. Tak terlalu sering memang. Perbincangan itu hanya karena gatal mulut saja. Namun setelah hama wereng dan babi hutan mengoyak mimpi mereka, cerita tentang Leha semakin sering diumbarkan. Seperti mengunyah kripik ubi saja. Leha dituduh sebagai biang masalah. Dia yang mengotori kampung dan membuat Tuhan marah. Itu artinya harus diadakan bersih kampung. Artinya pula tak jauh-jauh, Leha harus angkat kaki dari situ.
"Harusnya! Kalau tak begitu, apa Bapak siap kelaparan!" Istri Pak Kurlian langsung memotong ucapan suaminya yang seolah membela Leha. "Kita memang harus mengusirnya!"
"Apa yang diperbuatnya, coba?" Pak Kurlian sama sekali tak perduli amarah istrinya yang mengelegak. Sejak pulang dari kedai sampah Bu Bariah, dia uring-uringan terus. Konon sekarang suaminya seakan membela Leha. Bisa jadi Pak Kurlian menaruh hati kepada perempuan itu. Dasar tua-tua keladi! Anak sudah mau menikah, kelakuannya malah menjadi.
"Bapak ini, apa sudah jatuh cinta kepada Leha!" Suaranya menggelegar.
"Siapa yang jatuh cinta? Tak ada itu!" Pak Kurlian menatap istrinya. "Jangan selalu menyalahkan orang yang belum tentu bersalah. Perkara banyak laki beristri yang bertandang ke warung, bahkan ke rumah Leha, toh itu bukan salah Leha. Aku tahu Leha sudah sering mencoba menjaga jarak dengan mereka. Tapi tak bisa! Laki-laki di kampung ini saja yang memang tak ada pikiran!"
"Darimana Bapak tahu kalau Leha sering mencoba menjaga jarak dengan mereka? Bapak pasti pernah berbincang dengannya. Kapan, Pak!"
Pak Kurlian terdiam. Dia bagaikan terkena skak mat!
* * *
Tak ada lagi kesempatan bagi Leha menarung hidup di Kampung Saoto. Jangan kata bisik-bisik tetangga, para perempuan kampung pun sudah terang-terangan ingin mengusirnya.
Mereka berembug di balai desa saat Leha baru saja membuka warung pecelnya. Tetua kampung dan kepala desa yang tak ingin dicap ibu-ibu dan sebagian para gadis itu memihak kepada si janda kembang, terpaksa menuruti menggelar rapat darurat. Balai desa penuh sesak. Beberapa pemuda kampung berjaga-jaga agar tak terjadi keributan.Â
Leha merasa tak enak hati. Ketimbang diusir paksa dari kampung itu dengan teriakan-teriakan bahkan pamflet-pamflet, dia memilih kabur lebih dulu. Segera dia menemui Mirza, si pemilik mobil pick up satu-satunya di kampung itu. Seluruh barang-barang berharga yang ada di warung pecel, juga di rumah kontrakannya, diangkut ke bak mobil pick up. Leha kemudian memilih menuruti ajakan Juragan Marjan, membuka usaha rumah makan di ibukota kecamatan. Entah ajakan itu ada maksud lain, semisal Marjan ingin menjadikan Leha sebagai istri kedua, Leha tak perduli. Yang penting dia tak ingin malu diamuk massa Kampung Saoto.
"Akhirnya dia angkat kaki juga dari kampung kita. Syukurlah!" Istri Pak Kurlian nyerocos terus sejak maghrib.
Pak Kurlian hanya membisu sambil meraut bambu untuk dijadikan layang-layang. Usaha sampingan yang dilakukannya beberapa hari ini, sejak dia menganggur karena tak ada ajakan memburuh di sawah atau ladang orang lain.
Mengenai Leha, seiring waktu berlalu, mulai kerasan di ibukota kecamatan. Beruntung sekali Juragan Marjan tulus membantunya. Apalagi sejak Leha ikut mengelola rumah makan itu, pengunjung bertambah ramai. Rasa pecel buatan Leha itu lho yang membuat orang ketagihan!
Sementara di Kampung Saoto, orang-orang mulai merasa kehilangan sesuatu. Ya, apalagi kalau bukan rasa pecel Leha yang nikmat. Para lelakinya konon lebih kehilangan lagi. Mungkin karena ada rasa cinta yang terpendam di dalam hati. Bahkan kepala desa yang sudah menduda hampir empat tahun berselang, sebenarnya menyimpan maksud ingin memperistri Leha. Itulah mengapa dia mengontrakkan sebuah rumahnya kepada perempuan itu. Itulah mengapa dia menerima berapa saja sewa kontrakan dari Leha. Ya, bagaimanapun dia terpaksa menuruti kehendak warga untuk mufakat mengusir perempuan itu. Apalagi kemudian susul-menyusul sawah dibantai hama wereng, ladang diluluhlantakkan hama babi.
Nyatanya setelah Leha minggat dari kampung itu, hama wereng tetap merajalela. Hama babi seolah beranak-pinak. Tak ada lagi alasan bagi warga menuduh siapa biang keladi paceklik yang melanda kampung mereka. Terlebih-lebih kemudian kemarau mengeringkan sumur dan memperdikit air sungai. Ya, mereka semua merasa kalah.Â
Hingga kemudian kepala desa dan tetua kampung memilih mengajak warga sedekah kampung. Seorang ustadz sengaja diundang dari desa lain untuk memberikan wejangan agar warga tabah menghadapi semua cobaan.
"Kaum muslimin dan muslimat." Ustadz yang biasai dipanggil Ki Laman, memulai wejangannya di lapangan balai desa. "Saya sudah mendengar dari bapak kepala desa tentang kondisi sawah dan ladang di kampung ini. Kita semua pasti berpikir bahwa ini adalah teguran dari Allah atas kesalahan kita." Dia menarik dan melepaskan napas sebentar. "Ya, kita memang salah. Saya tahu dari kepala desa bahwa belasan lapau yang selalu dipenuhi para lelaki, tegak di kampung ini. Juga kedai-kedai sampah yang dirubung ibu-ibu. Bagaimanapun budaya yang tercipta adalah ngerumpi, menjelek-jelekkan orang lain. Bahkan warga di sini tak bosan-bosannya membuat gosip tentang penjual pecel. Hingga penjual pecel itu minggat karena tak ingin diusir paksa."
"Maaf, Ki Laman," sela istri Pak Kurlian tak senang. "Kenapa harus dikait-kaitkan dengan Leha?"
"Coba saya tanya, adakah yang pernah melihat penjual pecel itu berbuat tidak senonoh di kampung ini?"
"Tidaaak!"
"Lalu, kenapa berhari-hari kita senang menggosipkannya? Ingatlah, Allah tak senang hambanya berghibah. Membincangkan tentang perbuatan buruk orang lain, meskipun itu benar, tak boleh. Apalagi yang kita perbincangkan itu jatuh menjadi fitnah.Â
Mungkin tabiat berghibah di kampung ini yang menyebabkan Allah mengirimkan hama yang meluluhlantakkan sawah dan ladang, agar kita sadar atas kekeliruan ini. Percuma kita mati-matian beribadah kepada Allah, tapi hubungan ke sesama manusia tak baik. Allah dengan begitu mudah menerima tobat hamba-nya. Apakah mudah bagi kita meminta maaf kepada orang yang kita sakiti? Maaf di mulut bisa diadakan. Maaf di hati siapa yang tahu."
Penduduk terpana. Ghibah yang tampak sepele, ternyata bisa mendatangkan bencana bagi mereka.Â
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H