Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pohon Kedamaian

11 Maret 2019   21:44 Diperbarui: 11 Maret 2019   21:46 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ujung-ujungnya aku dituduh orang sebagai teroris. Aku dituduh pembuat makar. Masa' pohon tak bersalah mau ditebang. Mereka pun mencacimakiku. Si celeng jalang! Lanang yang buyan! Mereka tak ingin pohon kedamaian itu ditebang, meskipun posisinya berada di atas tanahku. Tapi daun-daunya yang rimbun menjangkau ke halaman samping rumah Pak Sukuat dan Bu Parinem. Berarti mereka juga berhak atas pohon itu. Akarnya yang menjalar ke mana-mana, juga telah menyentuh tanah Wak Latief dan pekuburan. Apakah aku harus bertengkar dengan orang mati demi menebang pohon yang hampir membuat musyrik itu?

* * *

Akhirnya kulupakan mengenai pohon kedamaian itu. Aku kembali disibukkan dengan pengajian-pengajian di kampung dan mengurusi langgar. Kubiarkan orang-orang semakin mendewakan sang pohon. Kubiarkan mereka menyembah-nyembah, tersungkur-sungkur. Kubiarkan kedatangan makhluk-makhluk yang bernama tukang parkir yang memajak orang yang parkir di atas tanahku.

Lambat-laun, kondisi daerahku mulai melarat. Setelah kepala desa sering korupsi dan anak buahnya yang hanya memikirkan duit itu menggurita, mulailah perekonomian warga kalang-kabut. Memang pohon kedamaian telah mengambil air dari langit, lalu mengeluarkannya dari akar-akarnya berupa mata air. Hingga sawah-ladang  tak kering. Namun karena pejabat-pejabat daerah selalu ingin memenuhi kocek masing-masing dengan timbunan uang, harga-harga otomatis merangkak naik. Pupuk dipalsukan, kemudian menumbuhkan tanaman pangan yang palsu di sawah-ladang. Ibarat kata, ditanam padi, tumbuh lalang. Ditanam sayur-sayuran dan buah-buahan, tumbuh semak jalang. Perdu berduri bernama putri malu-malu.

Perlahan namun pasti, apalagi setelah kenaikan bahan bakar minyak, pohon kedamaian menjadi incaran orang. Daun-daunnya yang gugur, dikumpulkan. Dibuat menjadi pupuk organik, sehingga tak terkecoh para tengkulak pemalsu pupuk. Ranting-rantingnya juga dipungut, dikumpulkan. Orang tak dapat membeli minyak tanah. Jadi, harus kembali ke jaman batu. Memasak dengan kayu.

Aku membiarkan perbuatan itu. Setidak-tidaknya manfaat sang pohon kedamaian bukan untuk pencarian wangsit. Melainkan dijadikan kayu bakar. Pupuk kompos. Oleh para warga yang pikirannya sudah kalut.

Dari hari ke hari, orang-orang menjadi kesetanan. Akar pohon yang menjalar ke mana-mana, mulai dibabat. Dibuat kayu bakar. Dahan-dahannya yang menjangkau ke mana-mana, mulai diparang. Dibuat papan dan kayu bakar. Tentunya aku sedih dan berusaha mencegah. Namun apa yang kuhadapi akhirnya? Orang-orang berbalik hendak memarangku!

Orang-orang menjadi tak tahu aturan. Tanah di sekitar rumahku menjadi pasar kagetan. Orang-orang membabibuta mematah-matahkan badan si pohon. Berkubik-kubik, akhirnya mereka membawanya ke rumah masing-masing. Sebagian kecil digunakan sebagai kayu bakar. Sebagian besar dijual ke pasar dengan harga mahal.

Begitulah dari waktu ke waktu pohon kedamaian itu semakin kerdil, semakin kurus kering. Daun-daunnya telah lenyap. Dahan-dahannya lesap. Banyak orang saling membunuh demi memperebutkan pohon itu. Otomatis, dia tak lagi memunculkan kedamaian. Tapi pertengkaran tak berkesudahan. Padahal sungguh dia tak bersalah. Ketika dia memberikan kedamaian dan seperti menghunuskan kesejahteraan, toh itu hanya persepsi masyarakat atas kehadirannya. Dia tetap pohon, tak pantas dipuja, tak pantas memberi berkah. Apalagi sampai dibuat sesembahan.

Lalu ketika perekonomian warga gonjang-ganjing, oleh pelaku-pelaku yang tak bertanggungjawab. Mereka kaum koruptor. Orang-orang yang berakhlak puritan dan nurani marjinal. Maka sang pohon menjadi bahan pertengkaran. Dia rebutan orang untuk dimanfaatkan daun, akar, batang dan rantingnya.

Setahun berlalu, pohon telah rata dengan tanah. Kek Saf marah-marah karena aku dicap tak mampu menjaga hidup pohon kedamaian. Aku tak bisa memposisikannya sehingga harmonis dengan alam sekitar. Katanya, "Ingatlah, Laduan! Kau dan warga akan menyesal. Pohon kedamaian yang tak terjaga sehingga mati, semakin memperburuk daerahmu. Ini bukan kutukan, melainkan kenyataan. Bila pohon kedamaian menjadi pohon perdebatan sehingga dia mati, maka siap-siaplah kemarau akan merajalela. Hujan menugal tanah karena dia adalah banjir. Orang-orang saling membunuh karena hatinya gersang. Udara panas membakar. Atap langit menjadi gelisah. Bolong-bolong ozonnya. Lalu timbulllah penyakit aneh-aneh. Membuatmu kehabisan uang untuk berobat. Timbul pula tingkahlaku aneh orang-orang yang berotak tak natural.  Ah, pohon kedamaian itu Laduan. Pohon kedamaian itu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun