Selanjutnya kami tak ingin menjadi anak buah orang kaya. Namun kami menjadi rekanan. Oleh sebab itu, anggota kami menggantikan berjaga malam, sementara kami berdiam di sebuah kantor bekas gudang minuman.Â
Begitulah kehidupan kami. Dari sekedar sampah sampai berposisi terhormat. Hingga kami menjadi lebih ditakuti ketimbang petugas keamanan berseragam dan berpendidikan. Lebih aneh lagi, petugas hukum itu banyak yang mengabdi kepada kami. Karena lahan di tempat kami lebih basah daripada di kantornya yang megah.Â
Atas saran seorang tauke bertubuh kurus dan suka madat, suatu senja di sebuah kafe bilyard, kami diusulkan ikut serta mencalonkan diri sebagai dewan rakyat. "Ayolah. Kalian cocok menjadi wakil rakyat. Penghasilan kalian akan bertambah, di samping upeti-upeti dari kami," katanya sambil mendudukkan perempuan berbadan montok di ujung lututnya.
"Ah, aku tak tamat esde. Si Sato Mata, membaca saja tak bisa," jawabku sekenanya. Membayangkan kelak berbaju safari atau jas dan berdasi, membuat tubuhku geli.
"Itu bisa diatur. Ijazah bisa dibeli. Segala urusan selesai dengan uang." Dia tertawa.
"Hmm, apa bisa?" Sato Mata menyela.
"Bisa! Dengan menjadi wakil rakyat, menjadi senjata kalian untuk mencalonkan diri sebagai eksekutif. Misalnya walikota, atau gubernur. Bagaimana?"
Seperti mimpi saja rasanya. Tanpa menunggu waktu lama, aku bisa menjabat sebagai gubernur dan Sato Mata menjadi walikota. Orang-orang di gang becek dan turunannya menjadi bertambah senang. Segala bisnis mereka yang melanggar hukum, kami lindungi. Dari lokalisasi terselubung di tengah himpitan reklame tempat hiburan. Dari pabrik minuman beralkohol tinggi. Tempat perjudian. Tebak angka. Dan hukum kami  buat tebang pilih. Bila para mahasiswa atau orang agama meributkan tempat maksiat, kami berkilah, mereka-mereka itu telah memiliki badan hukum. Mengantongi ijin, sehingga biar pun usahanya maksiat, tetap dianggap legal.
Sekarang kalian dapat melihat kami muncul di televisi-televisi. Kami disebut dermawan. Kami dicap sebagai penguasa yang pro rakyat. Padahal tak seorang pun tahu, kalau kami hidup berawal dari gang becek dan jorok. Yang hingga sekarang, tetap berperilaku seperti gang becek dan jorok itu. Dan orang yang sedikit mengenal dan mengetahui sepak terjang kami, salah seorang adalah yang menulis cerita ini. Tapi tunggu saja. Bila kami beri dia upeti, pasti otaknya juga seperti sapi. Dia akan memuji-muji kami sampai mati.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H