Beberapa sopir dan calo terminal menyapa, seolah menyuruh Tale berhenti dan menyerahkan tas pinggang itu kepada mereka. Padahal Tale hanya merasa-rasa. Tabiat mereka adalah wujud persahabatan dan keramahan. Bukankah tabiat tersebut sudah lazim berlaku dalam hari-hari menggelandang seorang Tale? Ya, dia tahu pasti. Tas pinggang di karung gonilah penyebab rasa was-was berlebih itu.
Rasa was-was semakin bergelimpangan di dada, setiba Tale di rumah kardusnya. Saat risleting tas pinggang itu dibuka, Tale hampir terpelanting. Seumur-umur baru sekali inilah dia melihat uang sebanyak itu. Uang yang rapi dan wangi. Â
Ya, Tuhan, uang siapa ini gerangan? Pasti pemiliknya merasa amat kehilangan. Haruskah aku mendiamkan di sini, atau membelanjakan semuanya? Misal aku pergi saja jalan-jalan keliling kota. Mabuk-mabukan. Atau membeli sebidang tanah? Bisikan-bisikan halus menghasut nurani Tale yang tulus.
Tapi bagaimana nasib pemilik uang itu? Siapa tahu uang itu untuk biaya berobat di rumah sakit. Atau untuk membayar hutang. Atau uang itu hasil curiankah? Tale menimbang-nimbang rasa. Meskipun uang itu berasal dari kejahatan, toh dia tak perlu terlibat untuk berbuat jahat juga. Lebih baik dompet berikut uang di dalamnya, diserahkan  ke aparat keamanan. Tale aman, dan tak ikut dipusingkan jika benar uang itu berasal dari kejahatan. Hanya saja dia ragu, kalau-kalau uang itu tak akan sampai ke tangan yang berhak. Bukankah sekarang ini amat sulit menemukan orang yang jujur-ikhlas? Bahkan aparat dari berbagai disiplin tugas terkadang lebih tak jujur-ikhlas ketimbang rakyat jelata seperti dirinya. Jadi, lebih baik dia berjuang sendiri mencari pemilik tas pinggang itu.Â
Tale mujur. Di sisi lain tas pinggang yang juga ditutup memakai risleting, dia menemukan kartu tanda penduduk seseorang. Mungkin dialah pemilik tas pinggang ini! batin tale.
Niat tulus menggerayangi  nurani lelaki itu. Dia kemudian merayapi kota dari gang ke gang, lorong ke lorong, jalan ke jalan. Berpeluh penat dia. Matanya berkunang. Namun demi tujuan pasti dan mulia, dia tak kenal lelah hingga malam masuk diam-diam. Di gemerlap cahaya listrik, bibirnya bergetar. Tuhan memberinya pintu kemenangan. Sebuah rumah lumayan mewah, berdiri menyambutnya. Menyusul seorang perempuan yang bisa jadi seusianya, saat Tale menyengaja membunyikan bel di pintu gerbang bermotif naga itu.
Tanya si perempuan menyelidik, "Mencari siapa, Pak?"
Tale ragu-ragu. Dibacanya lagi alamat di kartu tanda penduduk. Moga-moga dia tak salah alamat dan orang. Sementara mata perempuan semakin menyelidik melihat tas pinggang dan kartu tanda penduduk di tangan Tale.
"Sepertinya saya mengenal tas pinggang di tangan Bapak!" Dari menyelidik, mata itu seolah menyorotkan cahaya harapan.
"Ya, mungkin saja! Apakah Ibu pemilik tas pinggang ini?"
"Bukan! Anak saya, David! David Lauren!" Setengah menjerit perempuan itu berbicara. Mata Tale membaca sebaris nama di kartu tanda penduduk itu. Dia mengangguk-angguk senang.