Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dave Tale

6 Maret 2019   07:01 Diperbarui: 6 Maret 2019   08:26 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki itu mengawali hari di siang yang terik. Matanya mengerjap-ngerjap. Dia menyesal terlalu lama bergadang tadi malam, sehingga hari ini terlambat bangun. Terlambat bangun artinya dia didului Posh membolak-balik sampah di seputaran kota. Dia mungkin akan mendapat sisa-sisa yang tak laku dijual di depot rongsokan, semisal beling, duri-duri ikan, tulang-tulang ayam, atau sapi. Mungkin juga timbunan pempers penuh pop. Lelaki itu nyengir. Kalau saja ada seloki wayne, mungkin otaknya bisa tenang. Tapi tidak! Sekarang dia tak mungkin lagi mencicipinya. 

Sejak tiga tahun lalu dia berjanji berhenti menenggak wayne. Minuman keras membuatnya tak waras. Suatu hari kecelakaan menghampiri saat dia mengendarai mobil bututnya dengan kondisi mabuk. Hampir saja nyawanya terenggut. Tapi Tuhan belum menerima berpulangnya lelaki itu. Tuhan belum mengasihinya, dan hanya memberikan sebuah tanda, tulang punggung lelaki itu patah. Membuatnya bungkuk seperti orang berumur tujuh puluh tahun lebih. Padahal usianya saat ini masih empat puluh enam tahun.

Lelaki itu biasa dipanggil orang Tale, atau sekali-sekali Dave. Nama lengkapnya Dave Tale. Dia bukan orang terpelajar. Dia bersekolah hanya sampai kelas satu SMP. Setelah itu dia terpengaruh pergaulan tak sehat. Dia senang mabuk-mabukan bersama berandalan kota. Beruntung dia memiliki kemampuan memontir sepeda motor dengan belajar otodidak. Itu pula yang menopang hidupnya, agar bisa mengganjal perut yang lapar dengan makanan sekadarnya, dan memberinya kesempatan berleha-leha menenggak wayne. 

Mengenai mobil butut, itu memang sengaja dihadiahkan oleh si pemilik bengkel kepadanya. Agar Tale bisa lebih cepat masuk kerja setiap harinya. Sayang sekali, mobil butut itu---tentu saja karena wayne---mengantarkan Tale lebih cepat ke pintu kehancuran. Mobil butut itu diambil paksa oleh si pemilik bengkel. SIM Tale disita polisi. Rumahnya terjual demi melunasi biaya opname berikut operasi dan obat-obatan di rumah sakit. Jadilah dia menggelendang dan tinggal di rumah kardus bantaran sungai. Mengenai memontir tak pula lagi ada kesanggupannya. Punggung Tale yang bungkuk selalu linu ketika harus sering menunduk-nunduk memperbaiki sepeda motor. 

* * *

Tale akhirnya memutuskan menuju terminal kota. Jam segini  bis-bis antar kota antar provinsi sudah ngetem menunggu senja merapat. Bis-bis telah menumpahkan seluruh penumpangnya, yang bertebaran ke tujuan masing-masing. Pasti banyak cangkir air mineral bertebaran di lantai bis yang kotor. Berharap ada juga kaleng minuman berjejalan di sudut-sudut jok. Hmm, mudah-mudahah Posh belum bertandang ke sana. 

Seorang-dua lelaki menyapanya ramah. Dia balas melambai. Bila mereka mengangkat tinggi-tinggi kantong plastik yang mungkin berisi roti atau nasi uduk, Tale langsung menampik. Dia bukan peminta-minta. Dia hanya gelandangan. Dia menginginkan apa-apa yang masuk ke perutnya adalah hasil dari tetesan keringat sendiri.

"Hai, Tale! Hari ini lumayan kusut!" Darren, sopir bis, menyapanya. "Sorgaku belum ada yang mengacak-acak. Masuklah ke dalam."

Tale tersenyum. Dia faham perkataan Darren. Sorga artinya bagian dalam bis masih kotor. Penuh tumpahan makanan, plastik-plastik, kaleng-kaleng, ludah dan tentu saja bekas muntahan. Tale tak jijik terhadap semua itu. Dia hidup di timbunan sampah. Sampah adalah harta karunnya. Apakah mungkin orang yang mencintai harta karun, tiba-tiba sangat membencinya?

Tale mengambil satu demi satu cangkir air mineral dan memasukkannya ke karung goni. Lima kaleng minuman pun menjadi rejeki nomplok berikutnya. Kemudian langkahnya tiba-tiba berhenti. Darahnya berdenyar-denyar. Di jok bis, tiga baris di belakang tempat duduk sopir, Tale menemukan tas pinggang yang biasa dikenakan para calo bis terminal. Sesaat dia hendak membiarkannya begitu saja. Namun perasaan tak enak membuatnya menghampiri tas pinggang itu. Bagaimana kalau ada orang lain yang menemukan, kemudian menguasai tas dan seluruh isinya demi kepentingan pribadi? Ah, kasihan sekali pemilik tas itu.

Tale buru-buru mengambilnya. Dia memasukkan tas itu ke dalam karung goni. Tergesa dia pulang, melupakan antrian bis kota yang tentu masih menyimpan  sorga-sorga lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun