Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepuluh Hari Ramadhan

5 Maret 2019   14:57 Diperbarui: 5 Maret 2019   14:56 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja menua. Hatiku semakin gelisah. Berkali-kali aku mengintip dari balik tirai jendela. Tetap saja halaman kosong. Sesekali aku menajamkan pendengaran, toh tak terdengar suara halus ban mobil yang melindas halaman berbatu di depan. Kecuali tentu saja suara kendaraan bermotor di jalan sana yang seolah berkejaran dengan waktu berbuka puasa.

"Hati-hati lho, Nit! Ini awal petaka. Kalau suami mulai senang bersolek, kemungkinan dia sudah ada apa-apanya."

"Maksudmu!"

"Kau memang lambat berpikir. Ya, tentu saja dia sedang mendekati perempuan lain. Siap-siap saja kau diselingkuhi, atau mungkin saja dimadu!"

Sebenarnya sejak jauh-jauh hari, tak selintas pun aku berpikir kalau Mas Farid akan menyeleweng. Kehidupan kami berjalan adem-ayem. Hingga dua minggu belakangan ini, dia mulai sering bersolek. Mematut di depan cermin lumayan lama. Rambut yang tak biasa diminyaki, belakangan selalu licin---bahkan lalat pun bisa tergelincir. Dia yang enggan mengenakan parfum, kecuali deodoran, tiba-tiba membeli parfum yang kutaksir berharga mahal. Jambang, jenggot dan kumis dicukur gundul. Wajahnya mulus seibarat jalan tol.

Dan perbincanganku dengan Rohana dua hari lalu, adalah pemantik cemburu yang membakar dada. Aku hanya iseng bercerita tentang Mas Farid yang mulai suka bersolek. Tanggapan Rohana, tentu saja dengan mata melotot, juga menambahi dengan kata-kata seperti di atas. Coba, siapa yang tak cemas dibuatnya? Siapa yang tak cemburu? Siapa yang tak sakit hati?

Aku semakin sadar telah banyak kehilangan segala yang membuat Mas Farid tertarik. Yang paling utama tentu saja aku belum memberikannya keturunan. Tubuhku mulai gembrot dan bergelambir. Kesibukan di dapur dan membersihkan rumah, membuatku tak bisa menjaga wangi tubuh. Ini memang salahku, kecuali masalah keturunan. Tapi wajarkah Mas Farid membalas segala kekuranganku dengan menyeleweng?

Aku ingat pesan Mama bahwa kalau suami bertingkah, mulailah layani dia dengan perhatian penuh. Utamanya masalah perut. Dan itulah yang membuatku berkutat di dapur demi menggoda selera Mas Farid selama sepuluh hari Ramadhan ini. Aku tak ingin pernikahan kami yang telah berusia tujuh tahun, kandas di tengah jalan karena orang ketiga. Ya, kalaupun dia berbaik hati ingin memaduku, sungguh itu hanya belati yang menusuk ke ulu hati. Siapa toh yang tega dimadu?

Di atas meja sudah terhidang sop tulang, kolak dingin, sambal terasi, sayur kukus dan ikan asin bakar. Semua itu merupakan kesukaan Mas Farid. Tak lupa kusiapkan tahu goreng yang bisa kami nikmati saat santai usai shalat tarawih. Tapi ini, dia sama sekali belum pulang. Telah kusms dia, namun tak berbalas. Kutelepon, ponselnya sedang tak aktif. Hatiku semakin rusuh. Benar apa yang dikatakan Rohana, suami bersolek itu adalah awal petaka bagiku.

Beduk maghrib kemudian berkumandang. Tak berselera, kuseruput saja air putih hangat. Lalu tiga butir korma. Selain omongan Rohana yang menusuk dada itu, telah dua malam aku bermimpi melihat Mas Farid berjalan bersama seorang perempuan. Pertama dengan mantan kekasihnya saat kuliah. Kedua dengan perempuan yang tergila-gila kepadanya dari saat kami menikah hingga kini. Tiba-tiba kurasakan kepalaku berat.

"Ada apa, Nita?" samar suara Bunda di seberang. Sebetulnya masalah ini ingin kusimpan rapat-rapat di dalam dada. Bukankah lebih baik menyelesaikan masalah berdua Mas Farid saja? Semuanya harus kutanyakan. Semua harus jelas. Terang. Tentu sambil bersantai meminum teh hangat, bukanlah kesempatan langka untuk diciptakan. Kendati aku sendiri sudah lupa kapan kami terakhir kali bisa bersantai. Berbincang sambil mencurahkan hati.

Ya, itu sudah lama sekali. Mas Farid kini seolah orang asing bagiku. Atau, apakah aku sendiri yang mengasingkan diri? Pagi-pagi, bless, dia sudah lenyap di pintu depan rumah. Dia hanya berteriak lantang, akan berangkat kerja. Kulihat piring sarapannya sudah kosong. Kopi susu di cangkir tinggal setengah. Aku telah lupa agar selalu menemaninya sarapan. Piring-gelas di wastafel, lebih dulu melambai-lambai. Dapur seolah sekumpulan jelaga dan tepung, menurutku. Semua harus bersih!

Senja hari, bless, Mas Farid berteriak lantang seperti film kartun Jepang; Mama, aku pulaaang! Kemudian kami bersantap malam dengan cerita yang datar-datar saja. Selepas itu Mas Farid di ruang kerjanya, sementara aku tak ada pilihan lain selepas shalat maghrib, kecuali memegang remote tivi, dengan menggonta-ganti channel seolah tanganku memegang tasbih.

Dan dua minggu lalu itulah yang menjadi pembeda. Seperti yang telah kuutarakan di atas, Mas Farid senang bersolek. Belum lagi wajahnya dibuat lebih manis dari yang sudah. Aku curiga, wajah manis itu adalah tipu-daya untuk menutupi kelakuannya di luar sana. Sementara teriakan-teriakannya saat pergi atau pulang kerja, pun terhenti. Dia mulai senang permisi dengan ucapan salam. Apakah karena bulan ini Ramadhan, sama seperti orang kebanyakan, pura-pura menjadi orang paling alim sedunia? Membikin status di facebook seolah dia ustadz idola. Memuakkan! Tiba-tiba saja aku benci dengan wajah kamuflase Mas Farid.

"Anu, Bunda!" Aku ragu-ragu.

"Kangen, ya? Sudah sebulan kau dan Farid tak ke mari. Besok Minggu, kemarilah. Kita buka bersama. May sudah pulang dari Bogor. Suaminya tak ikut. May lagi libur panjang." Bunda terdiam. Keinginan untuk mengungkapkan kegundahan ini, mendadak tawar. Bunda sudah terlalu banyak bercerita. "Baju yang Bunda kasih itu, sudah kau jahit?"

"Belum dijahit, Bu! May ke mana?" 

"Wah, sudah dekat lebaran, lho! Nanti tukang jahit tak terima lagi." Terdengar suara kresak-kresek di belakang Bunda. "Anu, May lagi buka bersama di rumah temannya."

Akhirnya perbincangan tak beranjak dari masalah Bunda, Bapak, May dan dua keponakanku. Sedikit terlupa aku pada masalah dengan Mas Farid. Mungkin ini belum saat yang tepat berbicara dengan Bunda. Nanti saja kalau ada waktu santai bertemu. Sebenarnya aku ingin, ah... apakah perkara ini membuatku harus memutuskan perang dingin dengan Mas Farid? Apalagi harus bercerai! Tentu keputusan yang terlalu cepat dan fatal.

Malam merambat pelan. Perutku berbunyi. Tapi seolah aku bermusuh dengan makanan. Seperti seorang pendemo, aku puasa makan. Segerah kuraih remote tivi. Kali ini tanganku tak bertasbih. Berita tentang perang menghiasi layar-kaca. Kemudian debat kusir yang membuat seisi rumah ramai. Anehnya, aku tak melihat semua itu. Telingaku seolah got buntu, tak mendengar apa-apa. Hingga suara halus ban mobil melindas batu di halaman depan, membuatku sigap bagaikan harimau menunggu mangsa. Mas Farid pulang. Aku harus siap-siap menjadi hakim yang akan mengadili terdakwa. Cukup sudah dibulan-bulani tipu daya. Cukuplah menjadi perempuan yang selalu kalah dan mengalah.

Pintu depan sengaja tak kukunci. Suara halus langkah terdengar, pintu yang dibuka pelan, kemudian ditutup sama pelan. Ada batuk-batuk kecil. Kemudian seraut wajah melintas di ruang tamu. Seutas tanya; kenapa aku belum tidur? Aku hanya mendengus. Tivi kumatikan. Dia masuk ke kamar, entah untuk apa. Lama baru dia keluar. Mengenakan piyama dan melihat tudung saji. Dia terbatuk lagi, seolah kikuk membuka lemari makan. 

Inilah kesempatanku. Aku mulai membuka mulut dan berusaha memanggil namanya. 

"Ma, kemarilah, aku mau bicara!" Mas Farid malahan lebih dulu memanggilku. Hati ini menjadi tak karuan. Mula-mula aku yang ingin menginterogasi dan mencak-mencak. Tapi kali ini, sama seperti di hari-hari lain, selalu aku yang didului. Hmm, dia terlihat amat serius di sofa ruang tamu. Apakah dia akan membicarakan masalah perceraian? Atau, lebih parah dari ibu, tentang rencananya memaduku? Kuremas tangan. Tiba-tiba aku tak berani memikirkan untuk menjadi janda di usia tiga puluh lima tahun.

"Ada apa, Mas?"

O, kenapa kau menjadi lembek begini, Nita? Bukankah kau sudah merancang kata-kata agar lelaki di depanku tak berkutik dan bercerita tentang tingkahnya di luar sana? Bercerita tentang perempuan selain dirimu. Itulah salah terbesarmu, selalu tak sanggup menekan suami seperti dia. Sekali-sekali perempuan harus melawan, Nita! Bangkitlah!

"Sudah lama sekali kita menikah, dan kurasakan lama pula kita menjadi seperti orang asing di rumah ini. Aku sadar alpa kepadamu. Entah dirimu. Telah kucoba untuk menjadi suami yang menarik dan manis. Bahkan aku rela membeli parfum mahal yang sebetulnya amat kuhindari. Lebih merapikan diri yang sesungguhnya kurasakan risih. Ya, ini demi kebaikan kita. Agar rumah tangga kita lebih harmonis seperti dulu. Hangat. Tapi kau seperti tak melihat semua itu. Kau terlalu sibuk dengan urusan rumah dan rumah. Urusan tivi dan segala sengkarut kehidupan." Dia menghela napas panjang. Aku menelaah kata-katanya. Sedikit aku mulai menangkap apa maksudnya. Tapi lebih banyak aku gamang dan hanya mampu meremas kedua tangan.

Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari saku piyamanya.

"Ya, mungkin aku harus berjuang untuk mendapatkan cintamu lagi. Untuk kali kedua setelah pernikahan kita, aku ingin menyematkan cincin berlian ini ke jari tanganmu. Semoga kau sadar bahwa aku masih sangat mencintamu!"

Cincin itu menghiasi jemariku. Aku terpana. Apakah ini benar terjadi atau hanya sandiwara? Yang pasti kurasakan hangat tubuh Mas Farid memelukku. Aku ingin menangis. Terharu. Meskipun di dalam bilik hatiku yang paling dalam masih ada curiga, apakah ini tulus, atau cara bersolek Mas Farid yang mencoba mengelabuiku? Entahlah!

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun